BAB I PENDAHULUAN
Sejarah ilmu mantiq
Mengulas masalah sejarah manthiq, maka tidak akan terlepas dari sejarah perkembangan logika. Dan berbicara tentang sejarah logika, maka tidak dapat dipisahkan dari para filosof. Menelusuri para filosof maka tidak lepas dari keberadaan Yunani. Dan salah satu yang dianggap berperan dalam mengembangkan logika di Yunani adalah Aristoteles. Karena itulah, maka untuk mengetahui secara paripurna mengenai perkembangan ilmu manthiq dari akarnya, mau tidak mau kita harus menjelajahi alam pemikiran Yunani.
Berikut ini adalah gambaran singkat tentang perkembangan ilmu manthiq yang penulis kutip dari tulisan Maria Ulfa Fauzi, seorang mahasiswi Al-Azhar Kairo yang diunduh dari http://dnjatiinstitute.blogspot.com.
Sangat wajar ketika orang Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa mereka. Hanya dengan jargon rasionalitasnya dia mampu menghipnotis ratusan ilmuwan demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran. Peranan akal yang di Maha Dewa-kan hingga saat ini berkemungkinan mendapati konklusi yang tidak sepenuhnya benar, karena pada kenyataannya akal belum mampu mengungkap sepenuhnya rahasia alam yang tak terbatas.
Rasionalitas akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam kancah perpolitikan. Sketsa perkembangan logika yang luar biasa ini akan terus merelevankan diri terhadap segala perkembangan yang tidak mutlak, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan rasional yang tercermin dari setiap karyanya, bahkan alam semesta menurutnya tidaklah dikendalikan oleh hal- hal yang serba kebetulan
melainkan tingkah laku alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional. Pengamatan empiris dan alasan- alasan logis harus dimanfaatkan dalam mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis. Dengan dogma inilah budaya Eropa mulai berubah dari hal- hal yang ber-aromakan mistik dan takhayul.
Perumusan logika Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan semesta baik sepenuhnya atau tidak serta mengungkap sebuah kebenaran. Karena akal adalah yang paling mudah untuk membedakan antara manusia dan bukan manusia. “ Wa Ja‟ala Lakum al-Sam‟a wa al- Abshar wa al- Af idah” ( QS: 67 Ayat 23). Kalimat af idah dimaknai
sebagai otak untuk berfikir, yang menurut Ibnu Khaldun mempunyai tiga komponen; pertama (practical knowledge) termasuk di dalamnya politik, etika dan ekonomi, kedua (productive knowledge) termasuk art dan handycraft, ketiga (theoretical knowledge) termasuk matematika, filsafat dan metafisika.1
Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum- hukum berpikir secara benar harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada koherensi2 logis adalah benar, karena kekuatan pikiran kita sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari segala kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan „ke-independensian‟ logika, apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai „kacung‟ ilmu pengetahuan? Stoikisme3 mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih cenderung memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat, berbeda dengan Ibnu Sina dalam bukunya al- Isyarat wa al- Tanbiihaat yang memisahkan logika sebagai ilmu independen sekaligus sebagai pengantar.4 Dalam hal ini Al-Farabi lebih mengekor pernyataan Ibnu Sina bahwa Mantik sekali lagi adalah Khaadimul „Ulum yang independen. Keterpengaruhan Mantik Arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui ada 5 yaitu:
semakin jaya, bahkan ketika Nahwu dikatakan sebagai gramatikanya bahasa, maka mantik juga merupakan gramatika akal. Sehingga intuisi nahwu yang digunakan saat berkencan dengan bahasa dapat disamakan dengan logika ketika berintuisi dengan sebuah makna. Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan untuk memutuskan yang baik dan buruk.29
Setelah runtuhnya Baghdad abad 11 M, Andalus dijadikan pusat peradaban keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam mantik, berakhirnya Madrasah Bagdad menjadikan Mantik lebih dewasa, artinya yang dipakai saat itu bukan lagi metode Aristoteles melainkan diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat dari abad- abad selanjutnya sekitar 13-14 M, karya Ibnu Sina lebih membumi dari pada Aristoteles. Disisi lain, sekitar 970-1030 M muncul jama‟ah Ikhawanu Sofa dengan basis terbesar di Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti metode Aristoteles tetapi lebih condong kepada NeoPlatonisme, terlebih dalam pengertian tentang pitagoras. Banyak buku mantik yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka, khususnya al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani dengan pemikiran Arab Islam.30
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ilmu mantiq
Pengertian Ilmu menurut para pakar mantik adalah, mengerti dan yakin atau mendekati
yakin (zhan) mengenai sesuatu yang belum diketahui, baik paham itu sesuai dengan relita maupun tidak. Pakar
Ilmu Mantik Membagi Ilmu Sepert skema berikut ini:
Memperhatikan skema di atas bahwa Ilmu, menurut Ilmu Mantik terbagi dua bagian yaitu :
1. Tashawwur yaitu memahami segala sesuatu tanpa meletakan sesuatu (sifat) yang lain kepadanya, Seprti memahami Kata Husain.
2. Tashdiq yaitu memahami hubungan antara dua kata, atau menetapkan sesuatu kata
atas kata yang lain. ketika anda memahami Husin sebagaimana adanya, tanpa menetapkan
sesuatu yang lain kepadanya maka ilmu anda megenai Husin itu tersebut tashawwur. Tetapi,
ketika anda mengatakan Husin sakit, berarti anda memahaminya dengan menetapkan
(meletakan) sakit kepad Husin. pemahaman anda pada waktu itu sudah berpindah dari
Tashawwur kepada tasdiq, Ilmu-ilmu tasahawwur dan tasdiq itu, masing-masingnya terbagi lagi kepada dua bagian :
1) Badihi, adalah pemahaman tentang sesuatu yang tidak memerlukan pikiran atau penalaran, seperti mengetahui diri merasa lapar karena terlambat lapar, mengetahui diri merasa dingin karena tidak memakai jaket, dan yang semacamnya.
2) Nazhari, adalah pemahaman (ilmu) yang memerlukan pemikiran, penalaran, atau pembahasan seperti ilmu tentang matematika, gas bumi, kimia, Teknologi radio, Dan yang semacamnya.
A. Pengertian Dilalah
Dilalah adalah memahami sesuatu dari sesuatau yang lain. sesuatu yang pertama disebut Al-madhul (ynag ditunjuk, diterangkan atau diberi dalil) dan sesuatu yang kedua disebut Al-dall
(penunjuk, penerag, Atau yang member dalil) Contoh:
Terdengar suara di dalam danau di tengah ladang adalah dilalah ( indikator) bagi adanya orang di Dalam danau itu.
Pembagian Dilalah Skema ini menunjukkan bahwa Dilalah terbagi dua bagian yaitu :
1). Dilalah Lafzhiyyah;
2). Dilalah Ghairu Lafzhiyyah.
Dilalah Lafzhiyyah
Adalah petunjuk berupa kata atau suara. Dilalah ini terbagi tiga bagian yaitu :
1. Thabi¶iyyah (dilalah lafzhiyyah thabi¶iyyah) yaitu dilalah (petunjuk) yang berbentu alami (µaradh thabi¶i).
Contoh:
Ketawa terbahak-bahak
Menjadi dilalah Bagi gembira Menangis terisk-isak menjadi dilalah bagi sedih
2. Aqliyah (dilalah lafzhiyah aqliyah) yaitu dilalah yang berbentuk akal- pikir.
Contoh:
Suara teriakan ditengah hutan menjadi dilalah bagi adanya manusia di sana´.
Suara teriakan maling dari sebuah rumah menjadi dilalah bagi adanya pencuri yang sedang melakukan pencurian
3. Wadhiyyah (dilalah lafzhiyah wadh¶iyyah) yaitu dilalah yang dengan sengaja dibuatmanusia untuk Suatu isyarah Atau tanda Apa saja Berdasar kesepakatan.
Contoh:
Petunjuk bagi Lafadz (kata) Kepada makna Yang telah disepakati:
Orang Sunda sepakat menetapkan kata cau menjadi dilalah bagi pisang Orang Jawa Sepakat kata Gedang menjadi Dilalah bagi Pisang Orang Inggris sepakat Kata Benana Menjadi dilalah bagi Pisang Dilalah Ghairu Lafzhiyyah
Adalah dilalah yang tidak berbentuk kata atau suara. Dilalah ini terbagi tiga bagian :
1. Thabi¶iyyah (dilalah ghairu lafzhiyyah thabi¶iyyah) yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara Yang bersifat Alami.
Contoh: Wajah Cerah menjadi dilalah bagi orang yang senang Menutup hidung menjadi dilalah bagi menghindarkan bau.
2. Aqliyah (dilalah ghairu lafzhiyah µaqliyah) yaitu dilalah bukan kata atau suara yang
Berbentuk akal-pikir.
Contoh:Hilangnya barang-barang di rumah menjadi dilalah bagi adanya orang yang mencuri Terjadinya kebakaran di hutan menjadi dilalah bagi adanya orang yang membawa api ke sana.
3. Wadh¶iyyah (dilalah lafzhiyah wadh¶iyyah) yaitu dilalah bukan kata atau suara yang dengan sengaja dibuat manusia untuk suatu isyarah atau tanda apa saja berdasar kesepakatan.
Contoh : Petunjuk bagi lafadz (kata) kepada makna yang telah disepakati:
Secarik kain hitam yang dipakai orang Cina di tangan kirinya menjadi dilalah bagi kesedihan, karena ditinggal mati oleh keluarganya.
B. Dilalah Lafzhiyah Wadhiyah
Dilalah Lafzhiyah Wadh¶iyah, seperti yang terlihat didalam skema, terbagai tiga bagian yaitu:
a. Muthabaqiyyah (dilalah lafzhiyah wadhiyyah muthabaqiyyah) yaitu dilalah lafazh (petunjuk kata) kepeda makna selengkapnya.
Contoh:
Kata rumah memberi petunjuk (dilalah) kepada bangunan yang lengkap terdiri dari, dinding , jendela, pintu, atap dan lain-lainnya. Jika kita menyuruh membuat rumah, adalah rumah yang lengkap, bukan hanya satu
Bagian saja (dinding atau atapnya) saja.
b. Tadhammuniyyah (dilalah lafzhiyyah wadh¶iyyah tadhammuniyah) yaitu dilalah lafazh (petunjuk kata) kepada bagian-bagian maknanya.
Contoh :
Ketika kita bermaksud untuk memperbaiki rumah, maka hanya bagian-bagian tertentu saja yang diperbaiki. Jika kita meminta dokter mengobati badan, maka bagian badan yang sakit saja yang diobati.
c. Iltizamiyyah (dilalah lafzhiyyah wadh¶yyah iltizamiyya), yaitu dilalah lafazh kepada sesuatu yang ada di luar makna lafazh yang disebutkan, tetapi terikat amat erat dengan makna yang dikandungnya.
Contoh:
Jika kita menyuruh tukang memeperbaiki asbes loteng rumah yang runtuh, maka yang dimaksud
bukan hanya asbes saja, tetapi kayu-kayu asbes yang melekat dan kebetulan sudah patah pun
harus diganti. Asbes dengan kayu yang menjadi tulangnya terkait amat erat (iltizam).
B. Tujuan ilmu mantiq
Tujuan ilmu mantiq ialah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir. Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru. Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir". Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
C. Perkembangan ilmu mantiq
Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia 12-13 M, dengan gaya barunya yang mulai terbebaskan dari filsafat. Al-Ghazali kembali memberikan inovasi baru, ketika mantik dianggap hanya dibutuhkan dalam filsafat, maka mantik secara perlahan dibawa untuk memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh dan ilmu sosial. Karena logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem- problem teologi dan filsafat saja.31 Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat muslim untuk mempelajari logika sebagai fardlu kifayah. Terlebih lagi, “Rasaail Mantiqiyah” karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi dijadikan pedoman mantik papan atas sekaligus rujukan bagi para sarjana Muslim abad ini. Upaya Ibnu Rusyd dalam meng-eleminasi logika Yunani ternyata menuai hasil yang tidak mengecewakan.
Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkutat dengan logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, sehingga butuh sebuah upaya pengharmonisasian demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme. Mantik dalam pandangan Ghazali terbagi dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali teologis, dan mantik kasyfi yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Tapi menurut Ibnu Khaldun, mantik „hissi‟ juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika kemasyarakatan.32 Dalam relasinya dengan ilmu kalam,
Ghazali lebih mengunggulkan metode qiyas dari pada istiqra‟, karena dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita.33 Syahdan, ilmu Kalam yang diusung Ghazali bukan dalam artian harfiahnya (yaitu;pembicaraan), melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu Kalam adalah rasionalitas atau logika.
Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami perkembangan signifikan pada abad ke 14 M, hanya berupa penertiban materi yang sengaja diselaraskan oleh al-Tastari di kedua madrasah abad pertengahan. Al-Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas dan mensyarhi mantik. Maka standarisasi mantik telah sempurna sekitar abad 15 M sampai sekarang.34
Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan terlebih di Arab Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu mengatasnamakan akal.
Model penalaran asy‟ari dapat dikategorikan sebagai „ortodoks style‟, karena lebih setia dengan teks suci agama di bandingkan mu‟tazilah dan filosof. Meskipun masih dalam lingkaran Islam, tapi penalaran yang dipakai mu‟tazilah dan filosof kebanyakan produk Yunani sehingga mulai melakukan pendekatan ta‟wil atau interpretasi metaforis kalam Tuhan, yang mereka anggap mutasyabihaat. Nah, hal ini disebabkan kuatnya dan peranan unsur logika serta dialektika, maka sistem ini dinamakan ilmu Kalam atau teologi rasional. Sebenarnya tidak hanya mu‟tazilah dan filosof saja yng mengedepankan nalar, tapi Asy‟ari pun menggunakan argumen dan dialektika logis meskipun dalam tataran sekunder.35 Metodologi asy‟ari yang aristotelian dengan ciri rasional-deduktif rupanya paling mendapatkan simpatisan, terutama sekali ketika dua abad kemudian Al- Ghazali muncul dengan membawa kekuatan argumennya yang luar biasa. Bisa disebut, madzhab ini sebagai jalan tengah dari berbagai ekstremitas. Praktis, semua titik- titik penting keagamaaan mereka dukung dengan argumen dan dialektik yang logis, bahkan menjadi inspirator orisinil bagi pemikiran keIslaman. Sebagaimana pembahasan dalam teologis, pusat argumentasi Kalam Asy‟ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya dari ketiadaan (ex nihilo) serta pembuktian adanya Hari Akhir dan Malaikat.
Menurut teori tersebut, manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Tetapi manusia tetap bertanggung jawab karena dia telah melakukan „kasb‟ dengan adanya keinginan, pilihan dan keputusan yang diambil. Dan menurut Ibnu Taymiyah konsep ini bukannya menengahi antara Jabariyah dan Qadariyah, tetapi lebih condong kepada kaum Jabari.
termasuk salah satu teori yang diyakini kaum asy‟ari, karena pengolahan argumentasinya dinilai sangat logis.
Mu‟tazilah sebagai titisan kaum Khawarij dulunya, justru yang paling banyak mengembangkan ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Salah satu corak pemikiran mereka adalah rasionalitas dan paham qadariyah. Bahkan, mereka banyak mengikuti metologi kaum jahmi yang mengingkari sifat- sifat Tuhan. Jahmi atau Jahm Ibn Shafwan adalah seorang penalar keagamaan yang pertama kali menggunakan unsur- unsur Yunani (Aristotelianisme) dalam keagamaan. Padahal dia menganut konsep jabariyah yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, dan hanya mengenal kekuatan- kekuatan umum (universal) tanpa mengenal kekuatan khusus (particular).
Peradaban fiqh berkembang ketika peralihan zaman Umawiyah ke zaman Abbasiah, yaitu berdirinya „school of thought‟ oleh Abu Hanifah (699-767 M) yang terbentuk dalam lingkungan Irak. Kekuatan politik untuk menjabarkan penalaran ajaran Islam sangatlah riil, terlihat dari ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran dalam setiap ilmu. Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah qiyas dan pertimbangan kebaikan umum (istihsan). Kemudian Syafi‟i meneruskan tema aliran pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya.
Dalam tataran ini, Syafi‟i begitu berjasa dengan teori yang dirumuskannya, sebagai dasar teoritis Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai metode rasional untuk mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus ijma‟ juga diterima Syafi‟i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat. Maka, titik tolak Fiqh berkat Syafi‟i ada empat yaitu Kitab Suci, Hadist Nabi, Ijma‟ dan Qiyas.38
DAFTAR PUSTAKA
DR. Mahmud Muhammad Ali, Al-Alaaqoh Bayna al-Mantik wa al-Fiqh, Inda Mufakkiri al-Islam, Publisher; Ein for Human and Social Studies, Asyut, 2000, hal 63
Tathawur Mantik „Arabi, op. cit, hal 224
DR. Mahmud Muhammad Ali, op. cit, hal 50-51
Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Maktab al- Usrah, Kairo, 2006, hal. 916-917
Koherensi sebagai teori untuk menguji kebenaran, dengan menekankan konsistensi antara segala keputusan- keputusan bersepakat; keterkaitan.
Stoikisme merupakan aliran filsafat yang didirikan oleh Zeno 308 M. percaya bahwa akal yang meresapi alam semesta, dan orang- orang yang bijaksana harus melakukan disiplin terhadap dirinya dalam menerima nasibnya.
DR. Muhammad Mahran, Tathawwur al- Mantiq al- „Arabi, Dar al- Ma‟arif, Kairo, 1964, hal 18-19
Tathawur Mantik Al- „Arabi, op. cit, hal 166
Mantik Ibnu Khaldun, op. cit, hal 65
0 komentar:
Post a Comment