Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Saturday, September 26, 2015

Dua cinta untuk Raisa


“Mati”

Hanya kata itu yang singgah alam pikiran Raisa, sambil memegang undangan pernikahan ditangan kirinya dan sekaleng racun serangga ditangan kanannya.

Tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri hidupnya, hidup yang telah lenyap dia rasakan setelah mengetahui pengkhianatan Sami terhadap cintanya, bagaimana mungkin seorang pria dapat berselingkuh dibelakangnya, disaat dia telah berjanji pada Raisa untuk menjaga cinta mereka berdua hingga jenjang pernikahan, bahkan sampai maut memisahkan mereka.

Impian kebahagiannya sudah musnah, rasa kenyamanannya sebagai seorang wanita sudah hilang, harga dirinya sudah diinjak – injak oleh vera, selingkuhan Sami yang juga sahabat karibnya, emosi telah memenuhi seluruh pikirannya.

Buntu

Jika dia harus hidup, untuk apa? Apakah sanggup Raisa melihat kebahagiaan Sami dan Vera diatas tangisan kesedihannya? Tidak, dia tidak bisa menerima kenyataan itu, lebih baik mati berkalang tanah daripada melihat senyuman mereka diatas pernikahan, lebih baik berputih mata daripada dia menerima kenyataan bahwa cintanya dikhianati.

Direguknya racun serangga yang ada ditangan kanannya, rasa pahit dan aneh menelusuri rongga kerongkongan Raisa, tidak lama kemudian racun itu dipompa oleh jantung keseluruh tubuhnya lewat darah yang menapaki setiap pembuluh nadinya.

Sakit

Saat racun itu menyebar keseluruh tubuh, badan Raisa kejang – kejang menerima zat asing itu, buih putih keluar dari bibirnya, nadinya melemah, pikirannya berat, matanya mulai merasa gelap, semakin lama semakin bertambah sakit, dipuncak kesakitan itu, dia menyerah, dan berteriak sekerasnya.

***

“Brak”

Pintu kamar Raisa didobrak oleh pak Haryono, terkejut dia melihat putrinya kejang – kejang membiru dilantai kamar.

Dengan panik berlari menuju tubuh anaknya, dipeluknya tubuh Raisa sambil meraung meminta tolong, disentuhnya nadi Raisa yang mulai melemah sedikit demi sedikit.

Orang – orang mulai berdatangan kerumah pak Haryono, ada yang sambil membawa kelapa muda, untuk diminum agar racun yang ada dalam tubuh Raisa bisa keluar, sementara pak RT menggenggam teleponnya menghubungi rumah sakit terdekat, agar nyawa Raisa bisa diselamatkan secepat mungkin.

Tidak lama kemudian, ambulanpun datang, dan tubuh Raisa dibawa menuju rumah sakit terdekat dikota itu.

Semua tetangga merasa prihatin dengan cobaan yang diterima oleh pak Haryono, setelah kepergian istrinya, mereka tidak menyangka, Raisa dapat berpikir sependek itu untuk mengakhiri hidupnya, seorang gadis yang periang dan selalu optimis dalam hidupnya, bukankah dengan bercerita kepada mereka, masalah Raisa dapat dicarikan jalan keluarnya?

***


Lampu – lampu lorong rumah sakit berjalan diatas mata Raisa, rekaman peristiwa yang telah berlalu seolah diputar kembali kehadapannya, ingatannya kembali saat dia berjumpa tadi pagi ditaman kampus dengan Vera, mata Vera membengkak karena terlalu banyak menangis.

“aku hamil, Raisa...”

“ha... hamil? Bagaimana mungkin kamu hamil?”

“aku terlalu terbuai oleh rayuan seorang lelaki, cintaku membuatku buta akan kesadaran pikiranku, Raisa, semua hilang dalam kenikmatan cinta sesaat”

“kau tahu, Raisa, benih yang tertanam dalam rahimku ini memaksa naluri keibuanku muncul sehingga aborsi yang ditawarkan lelaki bajingan itu tidak aku setujui”

“terus, lelaki brengsek itu kabur?” tanya Raisa dengan penuh kegeraman.

“tidak, setelah kakak lelaki ku menghajarnya sampai meminta ampun dan bersedia bertanggung jawab atas kehamilanku atau perkara ini akan diperpanjang sampai ke urusan hukum”

“kenapa kau baru menceritakannya sekarang, Vera? Setidaknya aku bisa membantumu melewati saat – saat sulitmu”

“bagaimana bisa aku menceritakan kepadamu, rasa bersalahku kepadamu lebih besar dari rasa benciku kepada lelaki itu”

“maksudmu apa? Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin dirimu bisa merasa bersalah kepada diriku? Seingatku kamu tidak pernah melakukan kesalahan apapun”

“lelaki itu...”

“lelaki itu siapa? Vera, jangan membuatku bertambah bingung”

“Sami...” mata Vera menunduk ketanah.

“a... apa? Siapa? Tolong ulangi perkataanmu tadi, Vera”

“kamu pasti mendengar perkataanku, Raisa, lelaki itu adalah kekasihmu, dan aku adalah seorang yang menghujam tepat dijantungmu dari belakang”

“jangan berdusta, Vera, please... ini bukan sebuah gurauan” kata Raisa, butiran air jatuh dari sudut matanya, tangannya menutup mulutnya seolah tidak percaya.

“pukul aku, Raisa, pukul sampai kamu puas...” lirih Vera.

“ini tanggal pernikahan kami sebagai buktinya, mungkin hal ini sangat menyakitkan untukku, terlebih untuk dirimu, seorang sahabat rela mengkhianati sahabatnya dengan cara merebut kekasihnya” diletakkannya secarik undangan pernikahannya dengan Sami ditepi paha Raisa sambil mengusap air matanya yang membasahi pipi.

“aku pamit dulu, Raisa... terima kasih pernah menjadi sahabat terbaik untukku, penyesalan ini akan aku bawa sampai diriku mati nanti, aku berharap kamu dapat berjumpa dengan seorang pria yang tulus mencintaimu dimasa depan, tidak sepertiku yang harus hidup dengan kenangan masa lalu yang telah aku hancurkan”

Vera bangkit dari tempat duduknya, kakinya melangkah perlahan menjauhi bangku taman tempat dia dan Raisa duduk bersama, matanya menunduk kebawah, hatinya tercabik – cabik karena telah menyakiti sahabatnya semenjak bangku SD dahulu sampai mereka bersama kuliah diuniversitas yang sama hanya karena terbujuk rayuan seorang pria, air mata tidak berhenti mengalir dari pipinya.

Lama Raisa terdiam dibangku taman itu, dia berharap bangun dari mimpi pagi ini, dipandangnya secarik undangan yang terletak disampingnya, berkhayal bahwa nama yang terdapat disana bukanlah nama kekasih dan sahabatnya.

Sami Prayoga
Dan
Vera Lisdianto

Hatinya lebih teriris melihat apa yang dia baca dikertas itu daripada mendengar cerita Vera barusan, dihentakkan kakinya berharap ini semua ilusi, namun ternyata sebuah kenyataan.

Dia bangkit dan berlari dari taman kampus pagi itu, berlari dari sebuah kenyataan bahwa dia telah dikhianati, bahwa cintanya ternyata dibalas oleh kepalsuan, berlari menuju mobilnya dan ingin pulang kerumah.

“hanya lewat bunuh dirilah dirimu dapat menghilangkan semua kesedihan” bisik setan dalam hatinya.

***

 “Raisa...” panggil pak Haryono.

Perlahan Raisa membuka matanya, rupanya dia berada dibangsal rumah sakit.
Ditatapnya ayahnya, ada rasa bersalah yang menyelimuti pikiran Raisa, karena telah berbuat kesalahan fatal dengan meminum racun serangga karena pikiran pendek telah menguasai nalarnya.

Bukankah ayahnya sangat menyayangi dirinya? Kenapa seorang pria asing yang baru dia kenal enam tahun, bisa mengalahkan cinta ayahnya yang hadir semenjak Raisa ada didunia ini?.

Ayahnya lah yang senantiasa ikhlas mencintai dirinya sebagai kepala keluarga tanpa berharap sesuatu apapun, semenjak kematian ibu, Ayah telah berperan ganda dalam hidup Raisa sebagai seorang Ayah dan Ibu.

“Ayah, maafkan kebodohan Raisa, Raisa terlalu pendek dalam berpikir”

Pak Haryono mengusap air matanya, bagaimanapun Raisa melakukan kesalahan fatal, dia harus memaafkannya dan memberinya suport agar Raisa bisa bangkit kembali.

Perlahan Pak Haryono bangkit dari tempat duduknya, diruangan rumah sakit menuju pembaringan Raisa, diusapnya rambut Raisa dengan kasih sayang.

“Nak, jangan berbuat bodoh lagi ya? Ayah takut kehilangan kamu...”

“Iya Ayah, maafkan Raisa, Raisa janji tidak akan berbuat bodoh lagi dan mengecewakan ayah”

Dengan tangan yang masih lemah dan masih diinfus, dirangkulnya tubuh ayahnya, ayahnya pun membalas memeluk kepada Raisa kedalam dadanya, seolah takut kehilangan, mereka berdua menangis bersama malam itu.

***


Lima tahun sudah semenjak Raisa mencoba mengakhiri hidupnya setelah kehilangan cintanya.

Kebodohan yang pernah diperbuatnya masih membekas sampai saat ini, terkadang jika dia mengingat kejadian itu, dia merasa sedih, sebuah kepalsuan cinta yang membutakan mata hati dan pikirannya.

Raisa sedang merapikan kain jahitannya, setelah dia merancangnya selama sebulan, tiga stel pakaian berwarna hijau muda kini ada dihadapannya, dan dia memandang pakaian itu sambil tersenyum.

“Ibu” teriak Yogi.

“Eh Yogi, kapan pulangnya? Mana tidak bilang assalamualaikum lagi...” kata Raisa sambil mencubit pipi anaknya.

Mereka tertawa berdua, dan saling bergurau antara satu dengan lain.

“Assalamualaikum” sebuah suara berasal dari pintu rumah.

“Waalaikum salam” jawab Raisa

Raisa bergegas menuju pintu rumah, mengambil tas milik Tomi, dan sekaligus mencium tangan suaminya tersebut.

“sudah makan, mas?” tanya Raisa sambil tersenyum manis, menampakkan lesung pipitnya.

“belum, mana enak makan kalau tidak sama mama dan Yogi” jawab Tomi.

“mama baru menyelesaikan baju kita bertiga, bagus ngga?” tanya Raisa.

“wah, bagus banget” kata Tomi sambil melihat karya istrinya dengan kagum.

“udah lapar nih, makan yuk”

“Oh iya, mama juga sudah buat lauk kesukaan mas dan Yogi” jawab Raisa.

Mereka bertigapun melangkah ke meja makan untuk menikmati santap siang bersama.

Ada rasa cinta melingkupi rumah itu, dua cinta sejati yang menggantikan satu cinta palsu di hati Raisa, dia bersyukur, masih diberikan kesempatan kedua dalam hidupnya oleh Tuhan.


= T A M A T =

Pekanbaru, 25 juli 2015

Thursday, August 27, 2015

Pesona sang Inspektur


SEBELUMNYA : WHITE LILY



“Tim satu, siap?” tanya Iptu Wahyu.

“Siap ditempat, komandan” jawab Andi.

“Tim dua, siap?”

“Siap, komandan”

“mata elang, bagaimana posisi objek?”

“objek sedang mengarah keluar, komandan” jawab penembak jitu yang bersembunyi dibalik pepohonan didepan rumah Lili.

“Ok, semua tim, bersiap dalam hitungan saya”

Lily sedang bersiap untuk keluar dari rumahnya, hatinya menduga – duga kesalahan apa yang diperbuatnya sehingga polisi dapat mengendus jejak pembunuhan yang dilakukannya dipanti jompo.

Saat ia membuka pintu dan melangkah keluar, sebuah pemandangan dihadapannya mengejutkannya.

“LILI, MAUKAH KAU MENIKAHI AKU?”

Sebuah spanduk besar yang terletak diatas deretan mobil patroli polisi membuat dirinya secara tidak sengaja menutup mulutnya dengan tangannya, dilihatnya Iptu Wahyu datang dari mobilnya kearah Lily sambil membawa sebuah kotak cincin.

“Lili, maafkan saya mengagetkan dirimu, maukah dirimu menjadi istriku? Dan ibu dari Randy?”

Lili baru saja lepas dari keterkejutannya, tiba – tiba sebuah ide terlintas dalam hatinya, bagaimana cara ia menghajar sang pembunuh misterius secara langsung...

***


“kasus ini sangat rumit” kata Komisaris Bobby setelah melihat laporan Iptu. Wahyu yang terletak diatas mejanya.

“dalam waktu enam bulan sudah ada tiga kali kasus pembunuhan dengan metode yang sama”

“kasus ini masih kami selidiki, pak” kata Iptu. Wahyu yang duduk diseberang meja Komisaris Bobby.

“sudah ditemukan motif pembunuh beraksi?”

“belum dapat, Pak”

“sudah ada saksi mata yang melihat kejadian?”

“sejauh ini belum ada saksi mata yang melihat kejadian di lokasi”

“bagaimana hasil dari bagian forensik?”

“menurut hasil pemeriksaan dokter Dodi, korban diduga dibunuh saat tengah malam, antara jam 10 malam sampai jam dua pagi, terdapat bekas penyekapan oleh pembunuh, ditandai dengan adanya tanda bekas ikatan tali ditangan para korban, para korban diperkirakan dibunuh dengan menggunakan benda tumpul, semua langsung dibagian kepala, dan dokter Dodi memperkirakan tidak semua korban meninggal langsung setelah dipukul benda tumpul tersebut, setelah itu baru korban dimutilasi dengan menggunakan benda tajam, dari diameter luka diperkirakan mempergunakan kapak”

“hal itu sudah ada dalam laporan anda, yang saya maksudkan, sepanjang pengalaman dokter Dodi, pernahkah kejadian seperti ini terjadi sebelumnya?”

“menurut dokter Dodi, sepanjang pengalamannya sebagai seorang dokter forensik, baru kali ini ia melihat kasus yang sadis seperti ini”

“Hal aneh, menurut bagian forensik, sidik jari tidak ditemukan, dan kasus seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya, sementara pembunuhnya bertindak seperti seorang yang telah berpengalaman” kata Komisaris Bobby sambil mengusap dagunya.

“Coba anda selidiki kembali hubungan antara kasus – kasus pebunuhan ini, jika sudah ditemukan benang merah penghubungnya, hubungi saya kembali”

“Siap, pak!” kata Iptu. Wahyu sambil berdiri dan memberi hormat kepada Komisaris Bobby.

***

“Bagaimana kata komisaris?” tanya Diana, rekan sekerja Wahyu.

“Harus diselidiki kembali untuk menemukan benang merahnya”

“yup, kasus yang cukup rumit, tanpa saksi mata, tanpa petunjuk, tanpa meninggalkan jejak apapun”

“cukup susah untuk membuat profil pembunuh dengan menggunakan tiga orang korban saja”

“benar, ketiga kasus ini tampak seperti kasus pembunuhan biasa saja”

“bagaimana menurutmu, Diana?”

“mungkin kita harus memulai dari kasus pertama terjadi dulu, pertama sekali lokasi kejadian, mengapa sang pembunuh memilih meninggalkan korban di hutan”

“ide yang bagus” kata Wahyu.

“selanjutnya kita menghubungkan identitas antara korban dan hubungan antara mereka”

“Baiklah, kita menuju lokasi pembunuhan pertama dahulu” jawab Diana.

“Naik mobil saya saja” katanya lagi, sambil melempar kunci mobil miliknya kearah Wahyu.

***

Jalanan kota penuh kemacetan siang itu, anak – anak sekolah baru pulang dari kegiatan belajarnya, mobil Diana terjebak dalam kemacetan itu, mereka terpaksa menunggu sampai kemacetan terurai.

“Bagaimana kabar istrimu?”

“Lily?”

“Ya, apakah dia sehat – sehat saja?”

“Dia sehat – sehat saja, dia mungkin sedang dirumah bermain dengan Randi sepulang sekolah”

“sudah tiga bulan kalian menikah”

“kami masih menyesuaikan antara kepribadian masing – masing, maklumlah jarak perkenalan dan pernikahan sangat dekat”

“jadi kalian memutuskan untuk tinggal di rumah Lily?”

“Dia tidak ingin meninggalkan rumah itu, banyak kenangan didalamnya, katanya”

“jadi, rumah lamamu tidak dipakai lagi?”

“Aku kontrakkan saja kepada orang lain, setidaknya bisa tetap terawat dan ada sumber pemasukan lain”

“Lily tidak bekerja lagi?”

“Tidak, ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya dipanti Jompo”

“Bagaimana selama kalian menikah, sering bertengkar?”

“Oh, tidak, Lili orangnya tidak banyak bercerita, tipe pendiam, jadi terkadang aku mengajaknya bersenda gurau untuk menghilangkan kesuntukan dia selama dirumah, menurutku”

“bagaimana dengan proses perceraian dirimu, apakah sudah selesai?” tanya Wahyu kepada Diana.

“Minggu depan baru keluar keputusan dari hakim”

“aku tidak menyangka bisa berakhir seperti itu keluargamu”

“yah... biasalah, hal ini terjadi karena ketidak cocokan lagi”

“oh...”

“seperti itulah, komunikasi antara kami sudah jarang terjadi, dan kami sibuk dengan profesi masing – masing, ketiadaan anak juga menambah kehampaan diantara kami”

“Maaf, jika pertanyaanku menyinggung dirimu”

“tidak apa – apa, semua mungkin suratan takdir”

Kesunyian tercipta diantara mereka, sambil menunggu kemacetan terurai.

Ada yang mengganjal dalam hati Diana, ia pernah berkhayal untuk menikah dengan sosok seperti Wahyu yang meneduhkan dan memberikan keceriaan selama pertemanan mereka dalam bertugas.

Seharusnya ia lebih cepat bercerai sebelum Wahyu menikah lagi, pikirnya, namun semua sudah terjadi dan ia hanya bisa menjalaninya apa adanya.
Kemacetan mulai terurai, mobil merekapun bisa berjalan kembali, mereka mengarah ke tenggara, dihutan tempat pembunuhan pertama terjadi untuk pertama kalinya.

***


Garis polisi masih terlihat di tempat kejadian perkara, meskipun terlihat usang karena sudah enam bulan tempat itu ditinggalkan oleh pihak kepolisian.

Diana dan Wahyu  masih mengamati foto – foto pengambilan perkara saat pertama kali korban ditemukan didalam laptop wahyu, seorang pria berusia lanjut adalah korban pertama pembunuhan itu.

Korban pertama bernama Yudi, alias A Siu, peranakan tionghoa berusia 55 tahun, tingginya 167 cm, berat badannya 60 Kg, tinggal sendiri di rumahnya yang tidak terlalu ramai dengan tetangga di kiri dan kanan rumahnya.

“Bagaimana cara seseorang membawa korban dari mobilnya ditepi jalan masuk kedalam hutan?” tanya Wahyu

“Sepertinya dibopong oleh sang pembunuh, karena jika diseret mungkin akan banyak jejak tertinggal didalam hutan ini”

“coba bayangkan diriku membawa korban yang tingginya 167 cm yang berat dari dalam mobil menuju pohon ini, apakah tidak merasa susah saat dibopong, jaraknya lumayan jauh, sekitar 200 meter...”

“ada dua kemungkinan, mungkin sang pembunuh berpostur besar yang biasa membawa beban besar, atau juga korban masih hidup saat akan dibawa menuju tempat eksekusi” kata Diana

“coba lihat hutan ini, apa yang menarik dari hutan ini, sehingga sang pembunuh memilih tempat ini sebagai tempat ia melakukan aksinya pertama kali”

“hutan ini terletak disebelah tenggara dari kota, berjarak sekitar 45 km dari kota, butuh waktu paling cepat setengah jam untuk mencapainya, tidak ada penduduk yang tinggal diradius 10 km dari tempat ini”

“berarti tempat yang aman untuk melakukan aksinya tanpa ada saksi mata dari penduduk sekitar sini ya?”

“benar, bahkan untuk jam 10 malam keatas, pengemudi antar kotapun saya rasa tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi ditepi jalan, pikiran mereka pasti tertuju kearah kota yang sebentar lagi akan dicapai, merupakan tempat yang sempurna untuk melaksanakan aksinya”

“aneh, apa motif dari pelaku untuk beraksi” gumam Diana sambil memandang tempat bekas ditemukannya jasad korban.

“susah untuk menjawabnya, mengapa seseorang ingin menghilangkan nyawa orang lain, mungkin hanya sesama pembunuhlah yang bisa menjelaskannya”

“dan diriku pun tidak bisa membayangkan masuk kedalam pikiran sang pembunuh” jawab Diana.

“coba kususuri kembali jejak dari awal ditepi jalan, tunggu dimobil” kata Wahyu.

Wahyu berjalan 200 meter menuju keluar hutan, tempat itu sudah banyak dibersihkan selama proses evakuasi korban pertama ditemukan, untuk memudahkan mobil peralatan penyelidikan keluar masuk.

Ia menyusuri kembali jejak – jejak yang ditinggalkan sang pembunuh, dalam hatinya ia berharap dapat menemukan tanda yang belum terlihat.
Belum ada tanda yang tertinggal disana, sumber yang ia dapatkan masih berasal dari foto saat pertama kali jenazah korban ditemukan.

“Krek”

Sebuah suara yang berasal dari ranting yang dipijak terdengar dari balik pepohonan, kewaspadaan Wahyu meningkat, karena ia telah menyuruh Diana untuk tetap berada didalam mobil.

Dilihatnya sesosok bayangan tengah berlari diantara pepohonan, dengan reflek iapun mengejar bayangan tersebut.

“Berhenti!”

Teriak Wahyu kepada sosok itu, diambilnya pistol dari balik pinggangnya untuk berjaga – jaga, meskipun ia telah berteriak memperingatkan namun sosok misterius itu tetap berlari tanpa menoleh sedikitpun kearahnya.

Suasana remang – remang disore hari membuat Wahyu kesulitan memperkirakan profil orang yang dikejarnya.

Mereka saling kejar diantara pepohonan yang semakin lama semakin gelap, karena bermaksud untuk membuat sosok itu berhenti, wahyu mengarahkan pistolnya ke atas untuk memberi tembakan peringatan.

“Dor!”

Suara tembakan membelah kesunyian hutan, tiba – tiba Wahyu kehilangan sosok yang dikejarnya, jejak sosok misterius itu tidak terlihat lagi olehnya.

Dengan senjata yang masih tergenggam, ia berusaha mencari sosok itu, secara perlahan disusurinya pepohonan dihadapannya, menajamkan pendengarannya, instingnya merasa ia sudah berada dekat dengan apa yang dikejarnya, namun ia tidak tahu di arah mana orang itu menghilang.

“Kwak kwak”

Suara burung hutan yang mendadak berbunyi mengejutkan Wahyu, iapun secara spontan menoleh ke arah sumber bunyi burung tersebut, kosong, dan saat ia mengarah kearah sebaliknya.

“Brak”

Sebuah pukulan dengan balok menghantam kepalanya, pandangannya menjadi gelap, ia tersungkur ke tanah.

“Inspektur Wahyu!”

Sayup – sayup suara Diana memanggil dirinya, ia ingin berteriak menjawabnya, namun kepalanya masih terasa berat, dilihatnya sepasang kaki berjalan kearahnya, dan kemudian kaki itu menendang wajahnya, membuatnya pingsan...

BERSAMBUNG...


Tag : cerita, cerpen, misteri, detektif

Total Pageviews

Followers

Archive

 

© 10-5-2014 Empuss miaww. All rights resevered. Designed by Diubah karena banyak script anehnya

Back To Top