Opa fredi wafat pagi
tadi, suasana berkabung masih teras di tempat penampungan jompo itu, jasadnya
baru saja dijemput oleh keluarganya untuk disemayamkan dikampung halamannya.
Keluarganya menolak
proses autopsi terhadap jasad opa Fredi, seperti yang diminta oleh pihak
kepolisian untuk mengetahui penyebab utama kematian opa Fredi, mereka
menganggap proses autopsi akan memperlambat proses pemakaman nya, bagi mereka
kepergian opa Fredi adalah sebuah kepastian, bukan sebuah hal yang harus di per tanyakan kembali.
Setiap ada yang wafat
di panti jompo itu, pihak polisi senantiasa dilibatkan, yayasan tidak ingin
bermasalah dengan hukum jika terjadi sebuah tindak kejahatan di tempat yang
mereka kelola.
Lily masih berada
didalam kamar opa Fredi memandang taman bunga diseberang jendela, pandangannya
tertuju kepada bunga Lily on valley dan
autumn crocus yang ia tanam sendiri
disana, bagi pimpinan dan para rekan sejawatnya, Lily masih berduka atas
kematian opa Fredi, mereka memang dikenal sangat dekat sebelum kematian orang
tua itu yang mendadak.
“Lili...” sebuah
suara memanggil dari pintu kamar.
Lili menyeka air mata
diwajahnya dan kemudian melihat ke sumber datangnya suara, Inspektur Satu Wahyu
berada disana, lengkap dengan seragamnya berdiri dipintu.
“bolehkah saya
masuk?”
“oh... iya, silahkan
masuk”
Wahyu kemudian masuk
kedalam kamar itu, mengambil kursi di sudut ruangan dan menaruhnya disamping
Lili, mereka berdua memandang taman yang dipenuhi bunga diluar jendela.
“anda baik – baik
saja?”
“ya, saya baik – baik
saja”
“saya lihat ada bunga
disana, bunga apakah itu, cantik sekali”
“itu bunga Lily on the valley dan bunga autumn crocus”
“indah sekali,
siapakah yang menanamnya?”
“saya sendiri”
“ saya tidak
menyangka, tangan anda dingin juga dalam hal tanaman”
“saya sudah terbiasa
bercocok tanam semenjak masih kecil, ada yang bisa saya bantu?”
“oh... ya... saya
hanya ingin melihat anda saja, untuk menanyakan kabar saja”
“hm... bagaimana
kepolisian memandang meninggalnya Opa Fredi?”
“ karena pihak
keluarga menolak proses autopsi, dan menurut pihak yayasan tidak ada tanda
kematian yang mencurigakan, mungkin polisi menetapkan untuk sementara kematian
opa Fredi dalam keadaan wajar”
“ya, sebagai seorang
yang merawat beliau sampai beliau wafat, saya merasa bersalah jika ada tindakan
saya yang menyebabkan opa Fredi meninggal...”
“tidak... tidak
ada... bahkan menurut pimpinan anda, anda bekerja dengan baik sekali”
“sudah tujuh pasien
yang saya rawat meninggal...”
“namun kami belum
menemukan kejanggalan dalam kematian mereka, hal wajar jika kematian terjadi
pada orang – orang yang berusia lanjut usia, lagipula semua keluarga mereka
menolak autopsi dan tentu saja, pasien yang anda rawat tidak hanya mereka
bertujuh, sehingga jika tidak menemukan kejanggalan, tidak mungkin kami
sembarangan menuduh anda bukan? Jangan terlalu dipikirkan, anggap semua ini
resiko dalam bertugas”
“oh ya, tadi saya
telah berbicara dengan pimpinan anda, dia memberikan waktu untuk cuti selama
sebulan, karena pimpinan anda merasa kematian opa Fredi akan mengguncang emosi
anda”
“benarkah, saya tidak
tahu jika pimpinan saya memberikan cuti untuk saya, karena memang saya belum
berbicara dengan beliau”
“dia memberikan cuti
tadi saat saya berbicara masalah kematian opa Fredi, jika mungkin anda masih
ragu, anda dapat berbicara kembali dengan pimpinan anda”
“tidak perlu, ya...
saya merasa sedikit kelelahan dengan tugas saya, dan ingin beristirahat selama
beberapa waktu”
“saya dengar anda
sering pulang dengan menggunakan angkutan umum, bagaimana jika saya
mengantarkan anda?”
“tapi... apakah tidak
merepotkan anda? Tentunya anda harus segera kembali kekantor untuk bertugas”
“tidak masalah,
kebetulan tugas saya sudah habis siang ini, bagaimana dengan tawaran saya?”
“baiklah, saya akan
bersiap dulu sebelum pulang, jadi...”
“saya akan menunggu
anda diluar” kata Iptu Wahyu sambil tersenyum.
***
Mobil Iptu Wahyu
berjalan merambat menyusuri jalanan kota, sudah 15 menit mereka berdiam diri
didalamnya, bingung karena tidak tahu harus berkata apa.
Iptu Wahyu memang
mengagumi kecantikan Lily, diantara perawat manula dipanti jompo itu, Lily lah
yang paling cantik, rambutnya yang lurus, badannya yang ramping, bulu matanya
yang lentik dan kulitnya yang sawo matang dapat mempesona setiap lelaki.
Namun bukan itu yang
menarik perhatian Iptu Wahyu terhadap Lily, sosok Lily yang dingin dalam bersikap
namun cekatan serta hangat dalam melakukan tugasnya sebagai perawat panti jompo
yang membuat Iptu Wahyu ingin lebih dekat, ia membutuhkan sesosok wanita yang
keibuan menemani dirinya dan terutama Randi, putranya, yang telah kehilangan
ibunya yang telah meninggal saat melahirkan dirinya.
Sosok iptu Wahyu yang
duda beranak satu memang sudah tersebar diantara teman – teman Lily, namun ia
tidak tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam, tidak seperti rekan sejawatnya
yang masih lajang, senang jika pria tampan itu datang ke tempat mereka bekerja.
“kamu sering pulang
sendiri dengan angkot, Lily?” tanya Iptu Wahyu yang tidak ingin memakai
formalitas dalam berbicara dengan Lily.
“ya, saya memang suka
memakai angkutan kota untuk berpergian”
“kendaraan kamu
kemana?”
“saya tidak suka
memakai kendaraan, lebih nyaman jika saya menggunakan angkutan umum, dapat
melihat sisi kota dengan lebih realistis”
“tidak takut?”
“saya rasa tidak ada
yang perlu ditakuti saat memakai angkutan kota, karena kebetulan saya hampir
tidak pernah keluar malam, dan jadwal bekerja saya semuanya dipagi hari”
“soalnya baru – baru
ini terjadi kasus pembunuhan misterius dikota ini”
“pembunuhan?”
“iya, pihak
kepolisian masih mendalam keterkaitan antara pembunuhan itu”
“kenapa bisa terkait?
Bukan dianggap pembunuhan biasa”
“ada pola – pola tertentu
yang masih kami selidiki, sudah dua orang korbannya”
“pola seperti apa
yang ada dalam pembunuhan itu?”
“menurut kami,
pembunuhnya seorang yang sangat kejam, ia menggantung korbannya di pohon hutan
dengan keadaan yang masih mengeluarkan darah”
“kenapa bisa
disimpulkan sebagai sebuah pembunuhan berantai”
“ada jejak kesamaan
bekas alat yang digunakan oleh si pembunuh, sebuah benda tajam, perkiraan awal
kami adalah kapak”
“kapak?”
“iya, seolah korban
digantungkan diatas pohon sebagai undangan bagi kami untuk mengungkap
pembunuhnya”
“wah, sebuah hal yang
mengejutkan... kota yang damai ini bisa terjadi pembunuhan”
“iya, makanya saya
rasa sebaiknya kamu pulang dengan teman, tidak sendiri lagi”
“wah, saya tidak
memiliki teman yang satu jurusan pulang dengan saya”
“mungkin pacarmu bisa
mengantarkan pulang dan pergi kerja”
“pacar? Saya belum
memiliki pacar”
“ah masa? Wanita secantik
kamu...”
“belum memiliki
pacar? Soal kekasih belum terpikirkan dalam otak saya, tugas saya dalam
pekerjaan terlalu banyak”
“maaf jika saya
menyinggung anda...”
“oh, tidak apa – apa,
pimpinan dan rekan sejawat saya sering berusaha menjodohkan saya, namun saya
tidak banyak tertarik”
“berarti kamu tidak
suka dengan sebuah hubungan, barangkali”
“tidak juga, seperti
yang saya katakan, saya belum memikirkan menjalin sebuah hubungan”
Keheningan tercipta
diantara mereka, tidak ada yang bisa menebak apa yang ada didalam pikiran Lily,
namun kata – kata Lily yang mengatakan dia belum memiliki kekasih membuat
sebuah kelegaan dalam hati Wahyu.
Mobil Iptu Wahyu
memasuki sebuah pekarangan rumah yang cukup luas, sebuah rumah yang diwariskan
kepada Lily dari tante Ayu, seorang pasien yang pernah dirawat oleh Lily
dipanti jompo.
***
Tante Ayu memang
tidak memiliki seorang keluargapun, dia hidup sebatang kara, dan dengan Lily,
ia menganggap Lily sebagai anak sendiri setelah tante Ayu memutuskan tinggal
dipanti jompo, ia membutuhkan teman berbicara, bukan kesunyian dimasa tuanya.
Sebelum meninggal,
tante Ayu sudah memutuskan bahwa Lilylah pewaris semua hartanya, pekerjaannya
dimasa muda sebagai seorang aktivis dan penulis di bidang wanita, memberikannya
cukup bekal dimasa tuanya untuk hidup dari royalti buku – buku yang pernah
ditulisnya.
Lily tidak tertarik
dengan harta, sepeninggal tante Ayu, semua harta, kecuali rumah, ia sumbangkan
ke badan – badan amal, baginya sebuah rumah cukup, tidak lebih.
“Lily, kita sudah
sampai dirumahmu, asri sekali”
“iya, rumah
peninggalan tante Ayu, anda berminat untuk bertamu?”
“oh tidak, saya ada
janji dengan Randy untuk membuat PR malam ini, kira – kira kamu keberatan jika
saya bertamu besok sore? Dengan anak saya?”
“wah, bagaimana ya...”
“tidak apa – apa, Randi
bukan anak nakal kok”
“boleh, maksud saya
tadi bukan menolak, namun tentu saya ingin menjamu tamu saya sebaik mungkin”
“tidak perlu jamuan
yang aneh – aneh, mungkin kita dapat rekreasi ke kota bertiga”
“baiklah, saya tunggu
esok malam”
***
Sudah tiga minggu
semenjak Iptu Wahyu sering kerumah Lily, hampir tiga hari sekali Iptu Wahyu
datang bertamu, terkadang bersama anaknya, terkadang ia datang sendiri.
Malam itu Lily baru
pulang nonton bioskop bertiga bersama Wahyu dan anaknya, Lily tidak merasa
canggung dengan Randy, bahkan mereka akrab, terkadang mereka tertawa berdua
sambil bergurau dan menebak akhir cerita film di bioskop.
“Aku cantik, kan?”
kata Lily kepada dirinya di depan cermin.
“Cantik dan sempurna,
seperti bunga Lily, namun beracun, bagi yang terlalu terpesona keindahan diriku”
“satu... dua...
tiga... empat... lima... enam... tujuh... tanpa jejak, tanpa curiga, tanpa
kekisruhan, semua dalam ketenangan yang sunyi, semua korban adalah para manula
yang tidak menarik perhatian orang lain jika mereka mati dibunuh”
Ada rasa aneh yang
memasuki dada Lily, senyuman dingin terbentuk diwajah cantiknya, kepuasan bahwa
ia dapat menentukan pasien mana yang ingin ia bunuh, dan pasien mana yang ia
biarkan hidup, cukup dengan menggunakan racun yang berasal dari sulingan autumn crocus, yang setara arsenik, ia
menghabisi nyawa manusia tanpa jejak dan tanpa kecurigaan polisi.
Kesempurnaan dalam
seni membunuh adalah jika tidak terendus oleh orang lain, bagi Lily, bahkan
jikapun jenazah korbannya di autopsi, ia yakin bahwa residu racun sulingan
tangannya akan bersih.
“prang!”
Lily membanting gelas
yang berada ditangannya, ia teringat perkataan wahyu soal pembunuhan yang baru
terjadi di kota itu.
“Pembunuhan yang baru
terjadi ini mungkin sebagai undangan kepada pihak kepolisian untuk mengungkapkan
siapa pembunuhnya”
Bagi Lily sebuah
tindakan narsitis dalam melakukan pembunuhan berantai dikota itu sebagai
penghinaan terhadap keindahan seni membunuhnya yang tanpa jejak. Berarti sang
pembunuh berantai itu telah mengejeknya dan mengajaknya perang secara terbuka.
Nafasnya naik turun
menahan kemurkaan dirinya, ia memikirkan cara menghancurkan orang yang telah
terang – terangan menantangnya itu, namun ia tidak tertarik untuk bertindak
secara frontal dengan menunjukkan teknik membunuhnya, ia ingin mempermalukan
sang pembunuh saingan dengan membuka topengnya dan modus yang ia gunakan.
“ TOOT TOOOT… TOOT TOOOT..
DWUIIIIIIIOUT.. TOOT TOOOT…”
Tiba – tiba rumah
Lily diterangi oleh lampu mobil kepolisian, ia mendengar suara lars sepatu
turun dari dalam mobil, nalurinya ingin berlari, namun insting dasarnya sebagai
pembunuh menyuruhnya agar tetap tenang.
“SAUDARI LILY, KAMI
DARI KEPOLISIAN, HARAP SEGERA KELUAR ATAU KAMI AKAN MEMAKSA MASUK”
Suara Iptu Wahyu dari
mobil polisi menimbulkan keanehan didalam hati Lily, apakah tindakannya
ketahuan, ataukah...
BERSAMBUNG...