Tulisan
ini di buat di blog pribadi karena saya tidak ingin dan tidak suka menimbulkan polemik
– polemik panjang yang dapat menghambat
alur imajinasi yang mengalir dalam pikiran saya saat membaca postingan2 kreatif
di salah satu media blog terkenal di Indonesia.
Manusia
pada dasarnya adalah bertahan, mempertahankan diri dari hal – hal yang dapat
mengganggu eksistensinya. Segala macam bentuk gangguan yang yang tidak tampak ataupun
tampak, yang sudah datang maupun akan datang, kewaspadaan kita menjadi demikian
tinggi terhadap potensi2 ancaman baru.
Demikian
juga terhadap datangnya kritik terhadap kita, serta merta kita menjadi curiga
maksud datangnya kritik tersebut, tanpa memandang dan bertabayyun terhadap
maksud kritik, kita menjudge bahwa pengkritik adalah seorang musuh yang ingin
membuat karya – karya kita mati, mempermalukan kita, membuat kita tampak bodoh
di depan orang lain.
Padahal
tidak semua kritikan berakhir dengan kejelekan tentang kepribadian kita, ataupun
karya – karya kita, mungkin saja kritikan tersebut dibuat secara “umum”
terhadap komunitas tempat kita berkarya agar tidak melukai individu – individu yang
terdapat dalam komunitas kita tersebut. Namun kita memandangnya sebagai
serangan terhadap seluruh komunitas, mulai dari awalan A sampai akhiran Z.
Dalam
hal ini saya akan mengangkat tema “sastra instan” yang sedang hot di media blog
tersebut,
“SASTRA sebagai pergulatan kreatif adalah sebuah jalan sunyi” (Joko Pinurbo)
- Tiba – tiba ingatan kita tersentak saat membacanya, berarti selama ini saat saya menulis di dalam angkutan umum ataupun saat saya mendengar music dangdut oleh sastrawan senior tidak di anggap sebagai karya sastra.
- Berarti saat menulis sastra, menurut Sastrawan senior, harus dilakukan di dalam gua, tidak boleh terganggu dengan apapun.
Demikian
kira – kira anggapan kita terhadap kata Joko Pinurbo tersebut, padahal di saat
bersamaan kita berbahagia saat seorang pembaca karya kita kesulitan menangkap
maksud tulisan kita, kita berbahagia saat pembaca kita harus memeras otak
memahami kandungan pesan dalam sastra kita.
Kenapa
terhadap makna dari kata sastrawan yang senior kita hanya membaca sepintas lalu
dan kemudian tidak berusaha memahaminya? Sudah mengertikah kita maksud “Jalan
Sunyi” yang dikatakan oleh Joko Pinurbo tersebut, atau kalimat “Pergulatan
Kreatif” yang juga di usungnya?
Maka
di sini saya akan berusaha memahami maksud yang ingin di sampaikan oleh Joko
Pinurbo tentang “Jalan Sunyi” dan “Pergulatan Kreatif” tersebut. Karena dari
kedua makna inilah kita akan memahami maksud “sastra instan”.
Jalan Sunyi
Dalam
setiap saya menuliskan karya – karya milik saya, hal pertama yang mungkin
terjadi adalah ingatan akan pengalaman – pengalaman pribadi saya sendiri,
tentang buku – buku yang pernah saya baca, tentang manis dan pahit kehidupan
yang saya alami, tentang kisah – kisah mengharukan dan menginspirasi saya dalam
hidup saya yang saya dengar,
Semua
terangkum dalam pikiran saya, terolahkan dalam imajinasi saya sendiri dalam
dapur – dapur kata, tidak peduli apakah saya sedang dalam gua ataupun sedang di
angkutan umum yang sedang memutar lagu dangdut.
Orang
– orang boleh berlalu lalang di depan saya, namun pikiran saya dapat melompat
pada kisah – kisah yang pernah terjadi dalam hidup saya, apakah semua sudah
siap untuk di tuliskan dalam bentuk karya tulis? Tidak, semua masih raw
material yang tersimpan.
Pergulatan Kreatif
Saat
raw material sudah teramu dalam pikiran saya, dalam catatan saya, dalam diary
saya, dalam laptop saya. Tiba – tiba saya mendapatkan ide untuk membentuk
rangkaian pengalaman tersebut, entah saya dapatkan baru 10 menit lalu ataupun
10 tahun lalu, menjadi sebentuk tulisan. Yang ingin saya bagikan kepada para
sahabat saya dan orang – orang yang tidak saya kenal.
Semua
campuran raw material tersebut selanjutnya memasuki tungku pemasakan agar
menjadi matang dan siap untuk di sajikan. Dalam tulisan, sebuah plot yang kita
bangun, sebuah tema yang kita bangun adalah sebuah produk yang kita sajikan
kepada para pembaca, merekalah yang menikmati dan menilai rasa yang tertanam
dalam karya kita tersebut.
Ingat,
sebuah karya tulis saat selesai kita rampungkan, telah menjadi milik pembaca
kita, yang tersisa untuk kita hanyalah “hak milik” karya sastra tersebut.
Medici effect
Saya
memiliki sebuah ide tentang tema tulisan, namun saya tidak mengetahui cara
menulisnya, ataupun merasa ide saya kurang sempurna, sehingga saya ingin berkolaborasi
dengan para sahabat saya di media maya ataupun di dunia nyata agar menghasilkan
sebuah karya yang paripurna.
Kolaborasi
merupakan salah satu cara terbaik dalam penulisan sastra, karena beberapa
penulis dapat bahu membahu dan saling belajar berbagi ilmu tentang teknik
penulisan yang baik, melalui diskusi dan telewicara via internet.
Media
Sebuah
karya tulis tidak terpaku kepada satu tempat saja dalam penulisan dan
penerbitannya, internet merupakan kekuatan yang baik untuk membantu melancarkan
ide – ide yang sudah terpikirkan dalam imajinasi kita.
Melalui
fasilitas email dan chatting, sungguh sangat membantu sekali untuk saling
bertukar file tulisan dalam proses kolaborasi, pengerjaan suatu karya tulis
akan semakin cepat dalam hitungan menit dan detik saja.
Sementara
proses blogisasi karya kita melalui internet membuat masyarakat pengguna
internet mengenal siapa kita, bagaimanakah karya kita dan masukan apa yang
dapat mereka berikan kepada karya kita.
Sastra Instan
Mengapa dinamakan sastra instan?
Karena karya-karya yang dihasilkan tidak lagi dilewati dengan pergulatan
jalan sunyi yang penuh kesabaran itu. Namun dikarenakan tuntutan
kepentingan-kepentingan yang pragmatis di lingkungan kita yang akhirnya
menelurkan budaya instan (cepat saji) dalam melahirkan kesusastraan (Hilda @Hammer City).
Kisah
– kisah sinetron dan film horor sangat menarik sekali, mereka merupakan sebuah
karya populis yang sangat di nikmati oleh para penduduk kita, sungguh enak saat
kita melihat adegan – adegan mengharu biru ataupun adegan – adegan yang
membikin detak jantung bergerak lebih cepat karena keterkejutan kita ataupun
ketakutan kita terhadap sosok yang tidak tampak tersebut.
Karena
merupakan sebuah karya populis di masyarakat, maka saya ingin membuat karya
tulis yang bertemakan kisah sinetron ataupun kisah horror tersebut, “tema” ini
akan membuat saya lebih cepat di kenal dan moga – moga dapat menarik perhatian
pembuat sinetron dan Film tersebut agar melirik karya saya.
Sejujurnya
“tema” sinetronisasi dan hororisasi tersebut tidak salah, karena mereka tidak
melakukan proses copy paste terhadap “tema” yang sedang hot. Cukup tinggal
mengikuti genre dan memanfaatkan euforianya yang sedang terkenal dan Hot di
masyarakat.
Namun
karena terlalu di eksplorasi secara masiv, tema – tema tersebut menjadi mati
suri dan memiliki siklus umur yang sangat singkat, dan tidak meniggalkan endapan
dalam hati pembaca kita
Kebosanan
terhadap tema yang sama secara terus menerus akan membuat pembaca merasa bosan
kepada karya tulis sastra. Akhirnya penulispun merasa bahwa tulisan mereka
tidak layak di konsumsi lagi, dalam jangka panjang, penulis – penulis akan
berguguran dan menganggap bidang penulisan tidak menarik.
Sulitkah
untuk menemukan tema – tema out the box yang dapat kita perkenalkan kepada
masyarakat? Menurut saya itu cukup sulit juga, karena berarti kita harus lebih
mengeksplorasi lagi proses jalan sunyi
dan pergulatan kreatif kita secara
lebih sabar, memantapkan kolaborasi dan membagikan ide kepada para sahabat –
sahabat kita yang kreatif untuk mencari tema tulisan baru serta membuat dan
menikmati blue ocean strategy (keunggulan sastra) kita.
Akhirnya
demikian saja alur pemikiran saya tentang Sastra Instan ini, semoga bermanfaat.
Empuss Miaww
Sumber
:
http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2011/11/05/ketika-produk-sastra-instan-membanjiri-kompasiana/
http://fiksi.kompasiana.com/drama/2011/11/05/menyapa-hilda-tentang-sastra-instan-di-kompasiana/