“Hai, lagi sibukkah?”
Sebuah suara membuatku terhenti
dari pekerjaan yang aku lakukan di ruangan pustaka ku. Seorang wanita wanita,
yang entah bagimana, duduk di kursi tamu yang ada di hadapanku. Wanita berambut
coklat dengan matanya yang hijau dan senyum lesung pipitnya sedang
memperhatikan diriku yang dari tadi merasa sendirian saja.
“Kau terkejut dengan kehadiranku?”
katanya lagi, seolah mampu membaca pikiranku.
Bagaimana aku tidak terkejut,
karena dia hadir dalam mimpiku, ya, mimpi dalam tidurku…
“Siapa dirimu? Kenapa
bisa hadir dalam mimpiku?” tanyaku.
“Aku? Mmm, aku rasa bukan hal
yang terpenting, aku hanya ingin berjalan – jalan melihat mimpi yang tercipta
dalam tidurmu” katanya sambil bangkit dari kursi dan berkeliling memandang buku
– buku yang tersusun dalam rak buku.
“Aku bosan” katanya, “bagaimana
jika aku tukar latar mimpimu?”
Tiba – tiba dia menarik tepian
latar ruangan perpustakaanku, berganti dengan taman – taman yang di penuhi oleh
bunga dan pepohonan yang rindang. Entah bagaimana dia bisa membuat latar dalam
mimpiku bisa berubah dengan keinginannya, aku benar – benar kehilangan control dalam
mimpiku sendiri.
“Boleh aku bertanya?” katanya,
“mengapa engkau menulis fiksi?”
“Entahlah” jawabku.
“saat aku melihat pena dan
kertas, tiba – tiba tanganku gatal ingin menuliskan sebuah kisah fiksi, bukan
kenyataan”.
“Kenapa harus fiksi, bukan sebuah
kenyataan, reportase atau opini?” tanyanya lagi dengan ingin tahu.
Kami duduk di atas rerumputan
yang hijau, memandang pelangi yang menghiasi angkasa.
“aku menyukai fiksi, karena
bahasanya lembut, berbicara dari hati ke hati kepada pembaca karyaku, menulis
tanpa merasa menggurui, mereka melihat sendiri rentetan peristiwa yang aku
goreskan dalam setiap helaian kertasku” entah kenapa aku bisa bercerita banyak
kepada sesosok yang aku tidak kenal ini.
“tapi aku sudah jarang melihat
engkau menulis sekarang” katanya lagi.
“yah, aku takut,,,” kataku.
“apa yang kau takutkan?”
“entah kenapa aku merasa,
beberapa kisah dalam khayalanku menjadi hidup dan sebuah kenyataan terjadi”
“bukankah engkau hanya menuliskan
sebuah kisah fiksi? Kenapa harus takut?”
“aku takut, setiap tinta yang aku
goreskan menjadi kenyataan”
“Hei,,,” tiba – tiba dia menepuk
bahuku.
“jangan takut, meskipun apa yang
engkau tulis dan ada hal yang benar – benar terjadi, namun fiksi dan hal
tersebut bukanlah sebuah kisah yang berhubungan, itu hanyalah titik – titik kebetulan
yang terjadi dalam fiksimu”
“mmm,,, aku ingin pergi dulu,
besok kita berjumpa lagi” katanya.
Tiba – tiba dia menghilang, dan
aku terbangun diranjangku, lupa belum sholat isya ^_^
Iya aku lagi sibuk ne... hahahaha
ReplyDeleteApa kabar mas Dhani?