Monday, July 6, 2015

TETANGGAKU KAY, SEORANG GAY



Suasana sore yang nyaman di sebuah gang perumahan, anak – anak bermain dengan gembira, dan para orang tua sedang sibuk merumpi di teras rumah masing – masing bersama tetangga mereka yang berkunjung ditemani gorengan dan teh manis.

“kamu pernah dengar desas – desus tentang Nugroho?” tanya Reza membuka pembicaraan dengan Tomi diteras rumah Tomi.

“belum dengar, desas – desus tentang apa?” tanya Tomi ingin tahu.

”Nugroho itu seorang homo, nama panggilannya Kay dikalangan mereka”

“terus jika dia seorang homo, kenapa?” tanya Tomi.

“ya berbahaya bagi lingkungan ini, coba misalnya suatu hari dia melamar kamu?”

“berbahaya bagaimana, aku sering kerumah dia kok, nonton bola tengah malam, dan tidak diapa – apain sama dia” bantah Tomi.

“masa?”

“lah iya, bahkan sering sampai ketiduran dirumah dia sampai pagi, ngga pernah dia menyentuh diriku”

“ mungkin karena kamu sudah berumur, jadi tidak menarik bagi dia” kata Reza sambil terkekeh.

“Dasar” kata Tomi sambil melempar kerak gorengan ke arah Reza.

“Lagipula, sebagai tetangga yang baik, kita harus menghormati privasi dia dong, suka – suka dia mau lakuin apa dirumahnya, tidak usah sok sucilah, mau dia bawa pasangan homonya kerumah, itu urusan dia, kita harus menghormati kehidupan pribadinya, hidup kita dilingkungan ini selama ini damai – damai saja kok” lanjut Tomi.

“susah ngomong sama kamu, dikit – dikit bicara sok suci, dikit – dikit bicara harus menghormati kehidupan pribadi orang lain, padahal sebagai orang yang hidup bertetangga, kedamaian yang terjadi di lingkungan kita itu karena usaha kita menjaganya, demi masa depan anak – anak kita, segala upaya yang merusak kedamaian itu selalu kita tanggulangi bersama, makanya sering – sering ikut wiridan, gotong royong, poskamling, bukan nonton bola dibanyakin” balas Reza.

“lho, diriku kan sudah membayar semua iuran, iuran kematian, iuran wiridan, iuran gotong royong, iuran poskamling, jadi kalo tidak hadir kan tidak masalah, sudah diwakili oleh rupiah” kata Tomi dengan cuek.

“Hm...” Reza menghela nafas panjang setelah berdebat dengan Tomi, dia sudah kehilangan kata – kata.

***

Tengah malam itu, siaran pertandingan sepak bola sedang berlangsung di televisi dirumah Kay, para suporter pendukung masing – masing kesebelasan sedang bersorak dan saling mengejek lawannya, pertandingan berlangsung seru, dan harus berhenti saat jeda.

Tomi merasa haus, dia pergi kedapur Kay untuk mengambil minuman dingin, sampai disana ia melihat Kay sedang membuka kulkas dan juga mengambil minuman dingin dari dalamnya.
“banyak temanmu datang, Kay” kata Tomi.

“Ya begitulah, menjadi tempat berkumpul” jawab Kay sambil tersenyum.

“pria muda semua nih yang datang”

“sengaja aku undang, aku lebih suka berteman dengan brondong tanggung daripada berteman dengan orang – orang yang lebih tua”, Kay tertawa setelah mengucapkan kalimat tersebut, sambil mengedipkan matanya kepada Tomi.

Tomi tertegun mendengar perkataan Kay, sejenak pikirannya kembali ke masa lalu mengenang percakapannya dengan Kay.

“Aku itu menjadi gay mungkin semenjak dari bayi” kata Kay ditengah siaran pertandingan bola.

“lho, kok bisa kamu menjadi gay semenjak dari bayi?” tanya Tomi.

“karena aku dibesarkan oleh orang tua yang seorang gay, dan hidup serumah dengan pasangannya”

“jadi, kamu pernah diperkosa oleh orang tuamu?” tanya Tomi lagi.

“oh, nggak pernah malahan, malah mereka menyayangiku, tapi kehidupan mereka yang gay membuatku berpikir, bahwa homoseksualitas itu adalah realitas yang nyata”.

“seperti dirimu yang aku lihat, kamu mirip dengan kedua orang tuaku, meskipun kamu menikah dengan wanita, namun aku merasa jika kamu bisa menerima kalau anakmu menjadi seorang gay” kata Kay.

“mungkin iya, mungkin tidak, yang penting urusan kebahagiaan kamu itu urusan masing – masing, dan aku tidak peduli”. Jawab Tomi tidak yakin.

 Tiba – tiba Kay membelai bahu Tomi, membangunkan lamunan Tomi tentang percakapan mereka dimasa silam.

“Tomi, pertandingan bolanya sudah dimulai”.

“oh iya, sudah mau mulai ya?”

Merekapun kembali ke ruang tengah, menonton pertandingan bola yang sedang berlangsung kembali.

***

“Aduh, sakit ibu” teriak Adit kepada ibunya dikamar mandi.

“Kenapa nak?” tanya Sumi, istri Tomi, kepada Adit sambil berlari dari dapur menuju kamar mandi.

Ceceran darah menetes membasahi lantai kamar mandi, darah segar yang baru saja keluar dari luka yang berasal dari celana Adit, buru – buru Sumi membuka celana Adit, dan dia menjerit melihat luka menganga pada bokong Adit.

Tomi yang saat itu duduk didepan, berlari ke kamar mandi untuk melihat apa yang sedang terjadi, tiba – tiba lututnya lemas tak berdaya melihat anak kesayangannya terluka seperti ditusuk benda tumpul pada bagian bokongnya.

“Siapa yang melakukannya, nak?” tanya Tomi sambil tersedak sedih menahan tangisannya.

“Om Nugroho, pa...” kata Adit sambil menangis menahan sakit.

“Kapan dia melakukannya?”

“tadi siang, sepulang sekolah, Adit dipanggil om Nugroho, sambil menawarkan duit dan permen”

Tiba – tiba dunia menjadi gelap bagi Tomi, dan diapun teringat percakapannya dengan Kay beberapa waktu yang lalu.

“seperti dirimu yang aku lihat, kamu mirip dengan kedua orang tuaku, meskipun kamu menikah dengan wanita, namun aku merasa jika kamu bisa menerima kalau anakmu menjadi seorang gay” kata Kay.


*T A M A T*

Foto terkutuk dan altar suci



Kemiskinan memang makanan empuk bagi orang – orang pemuja humanisme, gelas – gelas sampanye mereka yang senantiasa terisi saat pesta – pesta amal ataupun penyerahan penghargaan terhadap karya fotografi terbaik, mereka menjual tangisan – tangisan kelaparan dunia ketiga kepada penduduk dunia pertama dan dunia kedua dalam poros utara – utara untuk menuai simpati memperoleh penghargaan tertinggi atas karya mereka.

Tak terhitung sudah berapa milyar dollar habis dalam transaksi jual beli kemiskinan ini, lewat penjualan konsep – konsep yang mereka sebut “pengentasan kemiskinan” dari kampus – kampus mereka, lewat penjualan kampanye – kampanye “penghapusan kemiskinan” para kepala negara dunia ketiga, lewat platinum award penjualan album bertema kemiskinan, lewat putlizer award fotografi terbaik tentang kemiskinan, lewat peningkatan jumlah oplah surat kabar terjual dengan berita kemiskinan yang menguras air mata pembaca.

Aku tidak menyalahkan musisi yang berkarya menyuarakan kemiskinan ditengah kemakmuran masyarakat, aku tidak menyalahkan surat kabar yang memberitakan realitas orang – orang yang hampir mati kelaparan, aku tidak menyalahkan realitas foto bahwa kematian hadir ditengah mata dalam selembar foto.

Yang aku sesalkan adalah, saat para orang beragama merayakan kebahagiaan berbagi kurban di hari raya idul adha antara yang bekurban dan yang menerima kurban seolah saudara kandung yang lama terpisah, saat malam – malam menjelang idul fitri para petugas zakat mengetuk pintu janda, orang miskin dan anak yatim untuk membagikan zakat, dan sedikitpun mereka tidak memikirkan apa yang mereka lakukan karena takut berbuat riya...

Tiba – tiba kaum pemuja humanisme datang membawa berita mereka, foto mereka, musik mereka, sastra mereka menyalahkan moral orang yang beragama bahwa mereka tidak punya nurani terhadap pelacur disini dan disana, orang – orang busung lapar yang hampir mati, dan sebagainya, bertindak sebagai hakim bukan sebagai pembawa berita, “orang beragama munafik”, dinegara beragama, moral dipertanyakan bukan tindakan, kata para humanisti.

Entah ada hubungan apa antara munafik dengan kemiskinan? Tentu saja orang – orang beragama terkejut, karena mungkin fokus mereka membantu orng yang dekat dengan lingkungan mereka untuk dibantu pertama kali, bukan untuk orang yang jauh lokasinya dari mereka.

Apa yang kusebut dialog – dialog antara dua pihak tidak terjadi, kaum pemuja humanisme telah bertindak sebagai hakim agung dari negeri suci belahan utara, yang menimbulkan antipati kaum agamis kepada mereka, kaum pemuja humanisme membawa setitik konflik diantara sejuta keharmonisan nusantara yang bernama, syiah sampang, ahmadiyah, dan kasus – kasus lainnya, seolah mereka malaikat suci.

Adakah kantor mereka, rumah mereka, gaji mereka dipergunakan untuk membantu orang – orang yang mereka sebut minoritas? Atau mereka hanya menjual kasus dinegeri ini demi mendapatkan nobel perdamaian untuk mengisi lemari mereka? Solusi apa yang mereka tawarkan untuk mengatasi realitas kemiskinan?

Tak kulihat bagaimana aktifis humanisme berjuang menghapus tembok yahudi di Israel, kelaparan di rohingnya, kemiskinan akut di papua nugini dan timor leste, entah kenapa fokus mereka hanya terpaku kepada negara - negara yang sudah stabil.

Bahkan kurasa erasmus pun menangis dalam kuburnya, melihat humanisme yang dia kemukakan dijadikan bisnis oleh kaum pemujanya, ngomong – ngomong soal erasmus, entah kenapa aku tertawa melihat realitas kemunafikan kaum pemuja humanisme, dinegeri asal erasmus, kesetaraan antar penduduk sangat dihargai, kecuali untuk inlander – inlander yang berada disebuah negeri bernama “hindia belanda”

Ku kutip perkataan terakhir kevin carter, pemenang putlizer 1993 yang melahirkan foto fenomenal sampai saat ini, namun akhirnya bunuh diri, karena tekanan batin nurani manusia menghujam seluruh tubuhnya saat teringat obyek fotonya dicabik – cabik burung bangkai dan dia tidak menolong anak tersebut sedikitpun.


"I'm really, really sorry. The pain of life overrides the joy to the point that joy does not exist... depressed ... without phone ... money for rent ... money for child support ... money for debts ... money!!! ... I am haunted by the vivid memories of killings and corpses and anger and pain ... of starving or wounded children, of trigger-happy madmen, often police, of killer executioners ... I have gone to join Ken if I am that lucky."

He said: Dear God,
I promise I will never waste my food no matter how bad it can taste and how full I may be. I pray that He will protect this little boy, guide and deliver him away from his misery. I pray that we will be more sensitive towards the world around us and not be blinded by our own selfish nature and interests.  
I hope this picture will always serve as a reminder to us that how fortunate we are and that we must never ever take things for granted.
Please don’t break.. keep on forwarding to our friends On this good day. Let’s make a prayer for the suffering in anywhere anyplace around the globe and send this friendly reminder to others “Think & look at this… when you complain about your food and the food we wasted daily……..

Friday, July 3, 2015

Disuruh untuk menikah lagi

Pagi – pagi adalah waktu yang sangat menenangkan bagi diriku untuk duduk diteras rumah menikmati suasana alam yang indah, melihat mentari terbit, dan mendengar suara burung berkicau yang sangat menenangkan hati.
Tak beberapa lama, istri tercintaku pun datang membawa gorengan dan segelas kopi, sambil tersenyum, dia meletakkan panganan pagi diatas meja dan sekaligus ikut duduk dibangku samping meja menemani diriku.
“mas, masih ingat mbak rani?” tanya istriku.
Mbak rani, seorang janda muda yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya dua tahun lalu dalam sebuah kecelakaan maut di jalan raya, dalam pikiranku.
“Oh, mbak Rani? Ingat” kataku sambil kopi diatas meja dan mulai menyeruputnya.
“bagaimana kalau mas melamarnya sebagai istri kedua?” kata istriku tiba – tiba.
“bruuutttt” cairan kopipun menyembur dari mulutku membasahi lantai.
“mama ngomong apa sih?” kataku sambil menyeka mulut.
“mama serius ini mas, mama kasihan sama mbak rani harus menghidupi seorang  anaknya seorang diri tanpa suami”
“ah, papa mau kekantor dulu, sudah telat” kataku sambil kabur dari percakapan yang membuatku terkejut.
***
Jalanan menuju kantor macet pagi itu, sambil menunggu lampu merah, pikiranku melayang pada percakapan tadi pagi, jujur saja, menikah lagi, disuruh istri pula, siapa sih yang ngga mau, batinku.
Dan bayangan tentang rani pun melayang dalam pikiran, rani, seorang wanita yang cantik, lembut dan keibuan, beda dengan istriku yang agak keras dalam mempertahankan pendapat yang dia anggap benar.
Tentu menikahinya sangat membahagiakan bagi seorang pria, dilayani dengan lembut dan penuh keibuan, menurut apa kata suami, pergi bersama ke kantor setiap harinya bersamaan, wah sebuah pengalaman yang menyenangkan dong.
“Teeetttt!”
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan pagiku, oh, sudah lampu hijau rupanya, segera ku gas motor bututku untuk sampai ke kantor
***
“Arga, bagaimana pendapatmu soal menikah kembali, disuruh oleh istri lagi” tanyaku kepada Arga, teman sekantor.
“Menikah kembali? Apa sedang ada permasalahan dalam keluarga mu?” tanya Arga sambil keheranan.
“Ah, tidak, keluarga kami masih harmonis kok” jawabku.
“terus, alasan istrimu menyuruh menikah kembali apa?”.
“karena dia kasihan dengan temannya yang seorang janda ditinggal mati, harus membesarkan seorang anak tanpa ada yang melindunginya”
“apa kamu siap, membagi waktu antara istri pertama dengan istri kedua?” tanya Arga kembali.
“Wah, siap dong, seminggu dirumah istri pertama, seminggu lagi dirumah istri kedua” jawabku yakin.
“soal anak gimana? Apa ngga bermasalah nantinya, yang satu anak kandung, sementara yang satu lagi anak tiri”
“tentu saja aku ngga mungkin membedakan mana anak kandung dan anak tiri, semua akan aku anggap anak sendiri”
“pendapatan kamu apa sudah mencukupi untuk dua keluarga?” tanya arga kembali.
“soal finansial aku rasa tidak bermasalah, calon istriku yang satu lagi sudah bekerja, sehingga jika aku melebihkan sedikit pendapatanku untuk istriku yang sekarang, aku rasa dia ngga keberatan”
“oh, ya sudah, berarti kamu sudah siap dong dengan konsekuensi pernikahan yang kedua, lebih – lebih kita kerja di perusahaan swasta, ngga ada aturan yang terlalu mengekang” kata Arga sambil kembali ke pekerjaannya.
Setelah berdiskusi ringan bersama Arga, keinginanku untuk menyetujui keinginan istriku untuk menikah kembali semakin besar, bukankah aku tidak sekedar menikah untuk bersenang – senang seperti pikiran orang tentang mengenai poligami? Aku bertanggung jawab untuk kedua keluarga, dan tentu saja aku akan berusaha seoptimal mungkin berbuat adil diantara istri – istriku nantinya.
***
Motorku baru saja sampai dihalaman rumah, dengan keyakinan diri untuk menyetujui keinginan istriku tadi pagi, kulihat Tyo, anakku sedang bermain dengan anak tetangga.
“Tyo!” panggilku
Tyopun berlari kearahku, seorang anak yang cerdas dan menghibur diriku saat pulang kerja.
“mama mana?” tanyaku.
“Di kamar mandi, lagi mencuci baju”
“Yuk, kita lihat mama” kataku.
Kamipun melangkah ke arah kamar mandi, kulihat istriku sedang membilas pakaian kami sekeluarga, sudah sering kubilang untuk membelikan dia sebuah mesin cuci agar tidak memberatannya, namun dia menolak, tidak sanggup membayar tagihan listrik katanya.
“Mama!” kataku dan Tyo memanggil istriku.
“eh papa, sudah pulang” katanya sambil menyeka keringat didahinya, diapun menghentikan pekerjaan rumahnya, dan keluar dari kamar mandi menuju kearah diriku dan Tyo berdiri, kukecup keningnya, seperti hari – hari biasanya, ada yang sedikit berbeda antara hari ini dengan hari – hari sebelumnya, ada rasa mengganjal didalam hati...
“sini, mama bawakan ransel mas, pasti capekkan, ayo Tyo turun dong, jalan sama mama ke kamar”
Kupandangi punggung istriku yang sedang berjalan bersama Tyo bergandengan tangan ke kamar, sambil bercerita berdua, rasa yang mengganjal dalam hati tadi mulai bersuara kepada diriku.
“Bukankah sebenarnya aku memiliki keluarga yang bahagia...?”
Istriku yang berjalan ini adalah seorang istri yang sangat istimewa, dia yang telah merawat dan memanajemen rumah tanggaku sehingga seperti ini, dia telah mencurahkan semua cinta dan perhatiannya agar rumah tangga kami selalu berjalan tanpa konflik apapun.
Dia membesarkan Tyo dirumah, menjaga kepercayaanku, semua pendapatanku kuserahkan kepadanya, dan dia membaginya secara proporsional sehingga kami tidak pernah merasa kekurangan meski aku tahu, sebenarnya pendapatanku itu tidak mencukupi.
Kekerasan kepalanya lebih didasari oleh kenyataan, dia tidak ingin menambah beban yang tidak perlu dalam keluarga ini, dia menghindari pertengkaran – pertengkaran dimasa depan akibat sedikit kesusahan yang sebenarnya bisa diatasi saat ini.
Hatiku terharu melihat besarnya pengorbanan istriku, relakah aku membagi kasih sayang yang seharusnya “utuh” untuk semua yang dia lakukan untuk diriku dengan wanita lain, meski dia yang menyuruhnya?.
“Papa, kok termenung sih?” teriak Tyo dari dalam kamar kami
“eh iya, bentar, tadi lihat handphone sebentar” kataku sambil ikut mereka ke kamar.
***
Malam itu, setelah Tyo tidur di atas tempat tidur, aku mengajak istriku berbicara soal percakapan kami tadi pagi.
“Mama, masih ingat dengan Arga kan?” tanyaku
“Mas arga? Masih mas...” katanya.
“tadi pagi mas sudah berbicara dengan Arga, berhubung Arga juga seorang duda tanpa anak, maka mas berpikir untuk menjodohkan Rani dengan Arga, mana tahu mereka berdua cocok” kataku berbohong, sambil berpikir keras bagaimana untuk berbicara dengan arga esok hari soal Rani.
“Oh, begitu mas, ya sudah, nanti kalo sudah mas jelaskan soal mbak Rani kepada Mas Arga, nanti mama bilangin ke Mbak raninya” kata istriku.
=TAMAT=

Total Pageviews

Followers

Archive

 

© 10-5-2014 Empuss miaww. All rights resevered. Designed by Diubah karena banyak script anehnya

Back To Top