Suasana
sore yang nyaman di sebuah gang perumahan, anak – anak bermain dengan gembira,
dan para orang tua sedang sibuk merumpi di teras rumah masing – masing bersama
tetangga mereka yang berkunjung ditemani gorengan dan teh manis.
“kamu
pernah dengar desas – desus tentang Nugroho?” tanya Reza membuka pembicaraan
dengan Tomi diteras rumah Tomi.
“belum
dengar, desas – desus tentang apa?” tanya Tomi ingin tahu.
”Nugroho
itu seorang homo, nama panggilannya Kay dikalangan mereka”
“terus
jika dia seorang homo, kenapa?” tanya Tomi.
“ya
berbahaya bagi lingkungan ini, coba misalnya suatu hari dia melamar kamu?”
“berbahaya
bagaimana, aku sering kerumah dia kok, nonton bola tengah malam, dan tidak
diapa – apain sama dia” bantah Tomi.
“masa?”
“lah
iya, bahkan sering sampai ketiduran dirumah dia sampai pagi, ngga pernah dia
menyentuh diriku”
“
mungkin karena kamu sudah berumur, jadi tidak menarik bagi dia” kata Reza
sambil terkekeh.
“Dasar”
kata Tomi sambil melempar kerak gorengan ke arah Reza.
“Lagipula,
sebagai tetangga yang baik, kita harus menghormati privasi dia dong, suka –
suka dia mau lakuin apa dirumahnya, tidak usah sok sucilah, mau dia bawa
pasangan homonya kerumah, itu urusan dia, kita harus menghormati kehidupan
pribadinya, hidup kita dilingkungan ini selama ini damai – damai saja kok”
lanjut Tomi.
“susah
ngomong sama kamu, dikit – dikit bicara sok suci, dikit – dikit bicara harus
menghormati kehidupan pribadi orang lain, padahal sebagai orang yang hidup
bertetangga, kedamaian yang terjadi di lingkungan kita itu karena usaha kita
menjaganya, demi masa depan anak – anak kita, segala upaya yang merusak
kedamaian itu selalu kita tanggulangi bersama, makanya sering – sering ikut
wiridan, gotong royong, poskamling, bukan nonton bola dibanyakin” balas Reza.
“lho,
diriku kan sudah membayar semua iuran, iuran kematian, iuran wiridan, iuran
gotong royong, iuran poskamling, jadi kalo tidak hadir kan tidak masalah, sudah
diwakili oleh rupiah” kata Tomi dengan cuek.
“Hm...”
Reza menghela nafas panjang setelah berdebat dengan Tomi, dia sudah kehilangan
kata – kata.
***
Tengah
malam itu, siaran pertandingan sepak bola sedang berlangsung di televisi
dirumah Kay, para suporter pendukung masing – masing kesebelasan sedang
bersorak dan saling mengejek lawannya, pertandingan berlangsung seru, dan harus
berhenti saat jeda.
Tomi
merasa haus, dia pergi kedapur Kay untuk mengambil minuman dingin, sampai
disana ia melihat Kay sedang membuka kulkas dan juga mengambil minuman dingin
dari dalamnya.
“banyak
temanmu datang, Kay” kata Tomi.
“Ya
begitulah, menjadi tempat berkumpul” jawab Kay sambil tersenyum.
“pria
muda semua nih yang datang”
“sengaja
aku undang, aku lebih suka berteman dengan brondong tanggung daripada berteman
dengan orang – orang yang lebih tua”, Kay tertawa setelah mengucapkan kalimat
tersebut, sambil mengedipkan matanya kepada Tomi.
Tomi
tertegun mendengar perkataan Kay, sejenak pikirannya kembali ke masa lalu
mengenang percakapannya dengan Kay.
“Aku
itu menjadi gay mungkin semenjak dari bayi” kata Kay ditengah siaran
pertandingan bola.
“lho,
kok bisa kamu menjadi gay semenjak dari bayi?” tanya Tomi.
“karena
aku dibesarkan oleh orang tua yang seorang gay, dan hidup serumah dengan
pasangannya”
“jadi,
kamu pernah diperkosa oleh orang tuamu?” tanya Tomi lagi.
“oh,
nggak pernah malahan, malah mereka menyayangiku, tapi kehidupan mereka yang gay
membuatku berpikir, bahwa homoseksualitas itu adalah realitas yang nyata”.
“seperti
dirimu yang aku lihat, kamu mirip dengan kedua orang tuaku, meskipun kamu menikah
dengan wanita, namun aku merasa jika kamu bisa menerima kalau anakmu menjadi
seorang gay” kata Kay.
“mungkin
iya, mungkin tidak, yang penting urusan kebahagiaan kamu itu urusan masing –
masing, dan aku tidak peduli”. Jawab Tomi tidak yakin.
Tiba – tiba Kay membelai bahu Tomi,
membangunkan lamunan Tomi tentang percakapan mereka dimasa silam.
“Tomi,
pertandingan bolanya sudah dimulai”.
“oh
iya, sudah mau mulai ya?”
Merekapun
kembali ke ruang tengah, menonton pertandingan bola yang sedang berlangsung kembali.
***
“Aduh,
sakit ibu” teriak Adit kepada ibunya dikamar mandi.
“Kenapa
nak?” tanya Sumi, istri Tomi, kepada Adit sambil berlari dari dapur menuju
kamar mandi.
Ceceran
darah menetes membasahi lantai kamar mandi, darah segar yang baru saja keluar
dari luka yang berasal dari celana Adit, buru – buru Sumi membuka celana Adit,
dan dia menjerit melihat luka menganga pada bokong Adit.
Tomi
yang saat itu duduk didepan, berlari ke kamar mandi untuk melihat apa yang
sedang terjadi, tiba – tiba lututnya lemas tak berdaya melihat anak
kesayangannya terluka seperti ditusuk benda tumpul pada bagian bokongnya.
“Siapa
yang melakukannya, nak?” tanya Tomi sambil tersedak sedih menahan tangisannya.
“Om
Nugroho, pa...” kata Adit sambil menangis menahan sakit.
“Kapan
dia melakukannya?”
“tadi
siang, sepulang sekolah, Adit dipanggil om Nugroho, sambil menawarkan duit dan
permen”
Tiba
– tiba dunia menjadi gelap bagi Tomi, dan diapun teringat percakapannya dengan
Kay beberapa waktu yang lalu.
“seperti
dirimu yang aku lihat, kamu mirip dengan kedua orang tuaku, meskipun kamu
menikah dengan wanita, namun aku merasa jika kamu bisa menerima kalau anakmu
menjadi seorang gay” kata Kay.
*T
A M A T*