Thursday, August 27, 2015

Pesona sang Inspektur


SEBELUMNYA : WHITE LILY



“Tim satu, siap?” tanya Iptu Wahyu.

“Siap ditempat, komandan” jawab Andi.

“Tim dua, siap?”

“Siap, komandan”

“mata elang, bagaimana posisi objek?”

“objek sedang mengarah keluar, komandan” jawab penembak jitu yang bersembunyi dibalik pepohonan didepan rumah Lili.

“Ok, semua tim, bersiap dalam hitungan saya”

Lily sedang bersiap untuk keluar dari rumahnya, hatinya menduga – duga kesalahan apa yang diperbuatnya sehingga polisi dapat mengendus jejak pembunuhan yang dilakukannya dipanti jompo.

Saat ia membuka pintu dan melangkah keluar, sebuah pemandangan dihadapannya mengejutkannya.

“LILI, MAUKAH KAU MENIKAHI AKU?”

Sebuah spanduk besar yang terletak diatas deretan mobil patroli polisi membuat dirinya secara tidak sengaja menutup mulutnya dengan tangannya, dilihatnya Iptu Wahyu datang dari mobilnya kearah Lily sambil membawa sebuah kotak cincin.

“Lili, maafkan saya mengagetkan dirimu, maukah dirimu menjadi istriku? Dan ibu dari Randy?”

Lili baru saja lepas dari keterkejutannya, tiba – tiba sebuah ide terlintas dalam hatinya, bagaimana cara ia menghajar sang pembunuh misterius secara langsung...

***


“kasus ini sangat rumit” kata Komisaris Bobby setelah melihat laporan Iptu. Wahyu yang terletak diatas mejanya.

“dalam waktu enam bulan sudah ada tiga kali kasus pembunuhan dengan metode yang sama”

“kasus ini masih kami selidiki, pak” kata Iptu. Wahyu yang duduk diseberang meja Komisaris Bobby.

“sudah ditemukan motif pembunuh beraksi?”

“belum dapat, Pak”

“sudah ada saksi mata yang melihat kejadian?”

“sejauh ini belum ada saksi mata yang melihat kejadian di lokasi”

“bagaimana hasil dari bagian forensik?”

“menurut hasil pemeriksaan dokter Dodi, korban diduga dibunuh saat tengah malam, antara jam 10 malam sampai jam dua pagi, terdapat bekas penyekapan oleh pembunuh, ditandai dengan adanya tanda bekas ikatan tali ditangan para korban, para korban diperkirakan dibunuh dengan menggunakan benda tumpul, semua langsung dibagian kepala, dan dokter Dodi memperkirakan tidak semua korban meninggal langsung setelah dipukul benda tumpul tersebut, setelah itu baru korban dimutilasi dengan menggunakan benda tajam, dari diameter luka diperkirakan mempergunakan kapak”

“hal itu sudah ada dalam laporan anda, yang saya maksudkan, sepanjang pengalaman dokter Dodi, pernahkah kejadian seperti ini terjadi sebelumnya?”

“menurut dokter Dodi, sepanjang pengalamannya sebagai seorang dokter forensik, baru kali ini ia melihat kasus yang sadis seperti ini”

“Hal aneh, menurut bagian forensik, sidik jari tidak ditemukan, dan kasus seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya, sementara pembunuhnya bertindak seperti seorang yang telah berpengalaman” kata Komisaris Bobby sambil mengusap dagunya.

“Coba anda selidiki kembali hubungan antara kasus – kasus pebunuhan ini, jika sudah ditemukan benang merah penghubungnya, hubungi saya kembali”

“Siap, pak!” kata Iptu. Wahyu sambil berdiri dan memberi hormat kepada Komisaris Bobby.

***

“Bagaimana kata komisaris?” tanya Diana, rekan sekerja Wahyu.

“Harus diselidiki kembali untuk menemukan benang merahnya”

“yup, kasus yang cukup rumit, tanpa saksi mata, tanpa petunjuk, tanpa meninggalkan jejak apapun”

“cukup susah untuk membuat profil pembunuh dengan menggunakan tiga orang korban saja”

“benar, ketiga kasus ini tampak seperti kasus pembunuhan biasa saja”

“bagaimana menurutmu, Diana?”

“mungkin kita harus memulai dari kasus pertama terjadi dulu, pertama sekali lokasi kejadian, mengapa sang pembunuh memilih meninggalkan korban di hutan”

“ide yang bagus” kata Wahyu.

“selanjutnya kita menghubungkan identitas antara korban dan hubungan antara mereka”

“Baiklah, kita menuju lokasi pembunuhan pertama dahulu” jawab Diana.

“Naik mobil saya saja” katanya lagi, sambil melempar kunci mobil miliknya kearah Wahyu.

***

Jalanan kota penuh kemacetan siang itu, anak – anak sekolah baru pulang dari kegiatan belajarnya, mobil Diana terjebak dalam kemacetan itu, mereka terpaksa menunggu sampai kemacetan terurai.

“Bagaimana kabar istrimu?”

“Lily?”

“Ya, apakah dia sehat – sehat saja?”

“Dia sehat – sehat saja, dia mungkin sedang dirumah bermain dengan Randi sepulang sekolah”

“sudah tiga bulan kalian menikah”

“kami masih menyesuaikan antara kepribadian masing – masing, maklumlah jarak perkenalan dan pernikahan sangat dekat”

“jadi kalian memutuskan untuk tinggal di rumah Lily?”

“Dia tidak ingin meninggalkan rumah itu, banyak kenangan didalamnya, katanya”

“jadi, rumah lamamu tidak dipakai lagi?”

“Aku kontrakkan saja kepada orang lain, setidaknya bisa tetap terawat dan ada sumber pemasukan lain”

“Lily tidak bekerja lagi?”

“Tidak, ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya dipanti Jompo”

“Bagaimana selama kalian menikah, sering bertengkar?”

“Oh, tidak, Lili orangnya tidak banyak bercerita, tipe pendiam, jadi terkadang aku mengajaknya bersenda gurau untuk menghilangkan kesuntukan dia selama dirumah, menurutku”

“bagaimana dengan proses perceraian dirimu, apakah sudah selesai?” tanya Wahyu kepada Diana.

“Minggu depan baru keluar keputusan dari hakim”

“aku tidak menyangka bisa berakhir seperti itu keluargamu”

“yah... biasalah, hal ini terjadi karena ketidak cocokan lagi”

“oh...”

“seperti itulah, komunikasi antara kami sudah jarang terjadi, dan kami sibuk dengan profesi masing – masing, ketiadaan anak juga menambah kehampaan diantara kami”

“Maaf, jika pertanyaanku menyinggung dirimu”

“tidak apa – apa, semua mungkin suratan takdir”

Kesunyian tercipta diantara mereka, sambil menunggu kemacetan terurai.

Ada yang mengganjal dalam hati Diana, ia pernah berkhayal untuk menikah dengan sosok seperti Wahyu yang meneduhkan dan memberikan keceriaan selama pertemanan mereka dalam bertugas.

Seharusnya ia lebih cepat bercerai sebelum Wahyu menikah lagi, pikirnya, namun semua sudah terjadi dan ia hanya bisa menjalaninya apa adanya.
Kemacetan mulai terurai, mobil merekapun bisa berjalan kembali, mereka mengarah ke tenggara, dihutan tempat pembunuhan pertama terjadi untuk pertama kalinya.

***


Garis polisi masih terlihat di tempat kejadian perkara, meskipun terlihat usang karena sudah enam bulan tempat itu ditinggalkan oleh pihak kepolisian.

Diana dan Wahyu  masih mengamati foto – foto pengambilan perkara saat pertama kali korban ditemukan didalam laptop wahyu, seorang pria berusia lanjut adalah korban pertama pembunuhan itu.

Korban pertama bernama Yudi, alias A Siu, peranakan tionghoa berusia 55 tahun, tingginya 167 cm, berat badannya 60 Kg, tinggal sendiri di rumahnya yang tidak terlalu ramai dengan tetangga di kiri dan kanan rumahnya.

“Bagaimana cara seseorang membawa korban dari mobilnya ditepi jalan masuk kedalam hutan?” tanya Wahyu

“Sepertinya dibopong oleh sang pembunuh, karena jika diseret mungkin akan banyak jejak tertinggal didalam hutan ini”

“coba bayangkan diriku membawa korban yang tingginya 167 cm yang berat dari dalam mobil menuju pohon ini, apakah tidak merasa susah saat dibopong, jaraknya lumayan jauh, sekitar 200 meter...”

“ada dua kemungkinan, mungkin sang pembunuh berpostur besar yang biasa membawa beban besar, atau juga korban masih hidup saat akan dibawa menuju tempat eksekusi” kata Diana

“coba lihat hutan ini, apa yang menarik dari hutan ini, sehingga sang pembunuh memilih tempat ini sebagai tempat ia melakukan aksinya pertama kali”

“hutan ini terletak disebelah tenggara dari kota, berjarak sekitar 45 km dari kota, butuh waktu paling cepat setengah jam untuk mencapainya, tidak ada penduduk yang tinggal diradius 10 km dari tempat ini”

“berarti tempat yang aman untuk melakukan aksinya tanpa ada saksi mata dari penduduk sekitar sini ya?”

“benar, bahkan untuk jam 10 malam keatas, pengemudi antar kotapun saya rasa tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi ditepi jalan, pikiran mereka pasti tertuju kearah kota yang sebentar lagi akan dicapai, merupakan tempat yang sempurna untuk melaksanakan aksinya”

“aneh, apa motif dari pelaku untuk beraksi” gumam Diana sambil memandang tempat bekas ditemukannya jasad korban.

“susah untuk menjawabnya, mengapa seseorang ingin menghilangkan nyawa orang lain, mungkin hanya sesama pembunuhlah yang bisa menjelaskannya”

“dan diriku pun tidak bisa membayangkan masuk kedalam pikiran sang pembunuh” jawab Diana.

“coba kususuri kembali jejak dari awal ditepi jalan, tunggu dimobil” kata Wahyu.

Wahyu berjalan 200 meter menuju keluar hutan, tempat itu sudah banyak dibersihkan selama proses evakuasi korban pertama ditemukan, untuk memudahkan mobil peralatan penyelidikan keluar masuk.

Ia menyusuri kembali jejak – jejak yang ditinggalkan sang pembunuh, dalam hatinya ia berharap dapat menemukan tanda yang belum terlihat.
Belum ada tanda yang tertinggal disana, sumber yang ia dapatkan masih berasal dari foto saat pertama kali jenazah korban ditemukan.

“Krek”

Sebuah suara yang berasal dari ranting yang dipijak terdengar dari balik pepohonan, kewaspadaan Wahyu meningkat, karena ia telah menyuruh Diana untuk tetap berada didalam mobil.

Dilihatnya sesosok bayangan tengah berlari diantara pepohonan, dengan reflek iapun mengejar bayangan tersebut.

“Berhenti!”

Teriak Wahyu kepada sosok itu, diambilnya pistol dari balik pinggangnya untuk berjaga – jaga, meskipun ia telah berteriak memperingatkan namun sosok misterius itu tetap berlari tanpa menoleh sedikitpun kearahnya.

Suasana remang – remang disore hari membuat Wahyu kesulitan memperkirakan profil orang yang dikejarnya.

Mereka saling kejar diantara pepohonan yang semakin lama semakin gelap, karena bermaksud untuk membuat sosok itu berhenti, wahyu mengarahkan pistolnya ke atas untuk memberi tembakan peringatan.

“Dor!”

Suara tembakan membelah kesunyian hutan, tiba – tiba Wahyu kehilangan sosok yang dikejarnya, jejak sosok misterius itu tidak terlihat lagi olehnya.

Dengan senjata yang masih tergenggam, ia berusaha mencari sosok itu, secara perlahan disusurinya pepohonan dihadapannya, menajamkan pendengarannya, instingnya merasa ia sudah berada dekat dengan apa yang dikejarnya, namun ia tidak tahu di arah mana orang itu menghilang.

“Kwak kwak”

Suara burung hutan yang mendadak berbunyi mengejutkan Wahyu, iapun secara spontan menoleh ke arah sumber bunyi burung tersebut, kosong, dan saat ia mengarah kearah sebaliknya.

“Brak”

Sebuah pukulan dengan balok menghantam kepalanya, pandangannya menjadi gelap, ia tersungkur ke tanah.

“Inspektur Wahyu!”

Sayup – sayup suara Diana memanggil dirinya, ia ingin berteriak menjawabnya, namun kepalanya masih terasa berat, dilihatnya sepasang kaki berjalan kearahnya, dan kemudian kaki itu menendang wajahnya, membuatnya pingsan...

BERSAMBUNG...


Tag : cerita, cerpen, misteri, detektif

Monday, August 24, 2015

White Lily



Opa fredi wafat pagi tadi, suasana berkabung masih teras di tempat penampungan jompo itu, jasadnya baru saja dijemput oleh keluarganya untuk disemayamkan dikampung halamannya.

Keluarganya menolak proses autopsi terhadap jasad opa Fredi, seperti yang diminta oleh pihak kepolisian untuk mengetahui penyebab utama kematian opa Fredi, mereka menganggap proses autopsi akan memperlambat proses pemakaman nya, bagi mereka kepergian opa Fredi adalah sebuah kepastian, bukan sebuah hal yang harus di per tanyakan kembali.

Setiap ada yang wafat di panti jompo itu, pihak polisi senantiasa dilibatkan, yayasan tidak ingin bermasalah dengan hukum jika terjadi sebuah tindak kejahatan di tempat yang mereka kelola.

Lily masih berada didalam kamar opa Fredi memandang taman bunga diseberang jendela, pandangannya tertuju kepada bunga Lily on valley dan autumn crocus yang ia tanam sendiri disana, bagi pimpinan dan para rekan sejawatnya, Lily masih berduka atas kematian opa Fredi, mereka memang dikenal sangat dekat sebelum kematian orang tua itu yang mendadak.

“Lili...” sebuah suara memanggil dari pintu kamar.

Lili menyeka air mata diwajahnya dan kemudian melihat ke sumber datangnya suara, Inspektur Satu Wahyu berada disana, lengkap dengan seragamnya berdiri dipintu.

“bolehkah saya masuk?”

“oh... iya, silahkan masuk”

Wahyu kemudian masuk kedalam kamar itu, mengambil kursi di sudut ruangan dan menaruhnya disamping Lili, mereka berdua memandang taman yang dipenuhi bunga diluar jendela.

“anda baik – baik saja?”

“ya, saya baik – baik saja”

“saya lihat ada bunga disana, bunga apakah itu, cantik sekali”

“itu bunga Lily on the valley dan bunga autumn crocus

“indah sekali, siapakah yang menanamnya?”

“saya sendiri”

“ saya tidak menyangka, tangan anda dingin juga dalam hal tanaman”

“saya sudah terbiasa bercocok tanam semenjak masih kecil, ada yang bisa saya bantu?”

“oh... ya... saya hanya ingin melihat anda saja, untuk menanyakan kabar saja”

“hm... bagaimana kepolisian memandang meninggalnya Opa Fredi?”

“ karena pihak keluarga menolak proses autopsi, dan menurut pihak yayasan tidak ada tanda kematian yang mencurigakan, mungkin polisi menetapkan untuk sementara kematian opa Fredi dalam keadaan wajar”

“ya, sebagai seorang yang merawat beliau sampai beliau wafat, saya merasa bersalah jika ada tindakan saya yang menyebabkan opa Fredi meninggal...”

“tidak... tidak ada... bahkan menurut pimpinan anda, anda bekerja dengan baik sekali”

“sudah tujuh pasien yang saya rawat meninggal...”

“namun kami belum menemukan kejanggalan dalam kematian mereka, hal wajar jika kematian terjadi pada orang – orang yang berusia lanjut usia, lagipula semua keluarga mereka menolak autopsi dan tentu saja, pasien yang anda rawat tidak hanya mereka bertujuh, sehingga jika tidak menemukan kejanggalan, tidak mungkin kami sembarangan menuduh anda bukan? Jangan terlalu dipikirkan, anggap semua ini resiko dalam bertugas”

“oh ya, tadi saya telah berbicara dengan pimpinan anda, dia memberikan waktu untuk cuti selama sebulan, karena pimpinan anda merasa kematian opa Fredi akan mengguncang emosi anda”

“benarkah, saya tidak tahu jika pimpinan saya memberikan cuti untuk saya, karena memang saya belum berbicara dengan beliau”

“dia memberikan cuti tadi saat saya berbicara masalah kematian opa Fredi, jika mungkin anda masih ragu, anda dapat berbicara kembali dengan pimpinan anda”

“tidak perlu, ya... saya merasa sedikit kelelahan dengan tugas saya, dan ingin beristirahat selama beberapa waktu”

“saya dengar anda sering pulang dengan menggunakan angkutan umum, bagaimana jika saya mengantarkan anda?”

“tapi... apakah tidak merepotkan anda? Tentunya anda harus segera kembali kekantor untuk bertugas”

“tidak masalah, kebetulan tugas saya sudah habis siang ini, bagaimana dengan tawaran saya?”

“baiklah, saya akan bersiap dulu sebelum pulang, jadi...”

“saya akan menunggu anda diluar” kata Iptu Wahyu sambil tersenyum.

***

Mobil Iptu Wahyu berjalan merambat menyusuri jalanan kota, sudah 15 menit mereka berdiam diri didalamnya, bingung karena tidak tahu harus berkata apa.

Iptu Wahyu memang mengagumi kecantikan Lily, diantara perawat manula dipanti jompo itu, Lily lah yang paling cantik, rambutnya yang lurus, badannya yang ramping, bulu matanya yang lentik dan kulitnya yang sawo matang dapat mempesona setiap lelaki.

Namun bukan itu yang menarik perhatian Iptu Wahyu terhadap Lily, sosok Lily yang dingin dalam bersikap namun cekatan serta hangat dalam melakukan tugasnya sebagai perawat panti jompo yang membuat Iptu Wahyu ingin lebih dekat, ia membutuhkan sesosok wanita yang keibuan menemani dirinya dan terutama Randi, putranya, yang telah kehilangan ibunya yang telah meninggal saat melahirkan dirinya.

Sosok iptu Wahyu yang duda beranak satu memang sudah tersebar diantara teman – teman Lily, namun ia tidak tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam, tidak seperti rekan sejawatnya yang masih lajang, senang jika pria tampan itu datang ke tempat mereka bekerja.

“kamu sering pulang sendiri dengan angkot, Lily?” tanya Iptu Wahyu yang tidak ingin memakai formalitas dalam berbicara dengan Lily.

“ya, saya memang suka memakai angkutan kota untuk berpergian”

“kendaraan kamu kemana?”

“saya tidak suka memakai kendaraan, lebih nyaman jika saya menggunakan angkutan umum, dapat melihat sisi kota dengan lebih realistis”

“tidak takut?”

“saya rasa tidak ada yang perlu ditakuti saat memakai angkutan kota, karena kebetulan saya hampir tidak pernah keluar malam, dan jadwal bekerja saya semuanya dipagi hari”

“soalnya baru – baru ini terjadi kasus pembunuhan misterius dikota ini”

“pembunuhan?”

“iya, pihak kepolisian masih mendalam keterkaitan antara pembunuhan itu”

“kenapa bisa terkait? Bukan dianggap pembunuhan biasa”

“ada pola – pola tertentu yang masih kami selidiki, sudah dua orang korbannya”

“pola seperti apa yang ada dalam pembunuhan itu?”

“menurut kami, pembunuhnya seorang yang sangat kejam, ia menggantung korbannya di pohon hutan dengan keadaan yang masih mengeluarkan darah”

“kenapa bisa disimpulkan sebagai sebuah pembunuhan berantai”

“ada jejak kesamaan bekas alat yang digunakan oleh si pembunuh, sebuah benda tajam, perkiraan awal kami adalah kapak”

“kapak?”

“iya, seolah korban digantungkan diatas pohon sebagai undangan bagi kami untuk mengungkap pembunuhnya”

“wah, sebuah hal yang mengejutkan... kota yang damai ini bisa terjadi pembunuhan”

“iya, makanya saya rasa sebaiknya kamu pulang dengan teman, tidak sendiri lagi”

“wah, saya tidak memiliki teman yang satu jurusan pulang dengan saya”

“mungkin pacarmu bisa mengantarkan pulang dan pergi kerja”

“pacar? Saya belum memiliki pacar”

“ah masa? Wanita secantik kamu...”

“belum memiliki pacar? Soal kekasih belum terpikirkan dalam otak saya, tugas saya dalam pekerjaan terlalu banyak”

“maaf jika saya menyinggung anda...”

“oh, tidak apa – apa, pimpinan dan rekan sejawat saya sering berusaha menjodohkan saya, namun saya tidak banyak tertarik”

“berarti kamu tidak suka dengan sebuah hubungan, barangkali”

“tidak juga, seperti yang saya katakan, saya belum memikirkan menjalin sebuah hubungan”

Keheningan tercipta diantara mereka, tidak ada yang bisa menebak apa yang ada didalam pikiran Lily, namun kata – kata Lily yang mengatakan dia belum memiliki kekasih membuat sebuah kelegaan dalam hati Wahyu.

Mobil Iptu Wahyu memasuki sebuah pekarangan rumah yang cukup luas, sebuah rumah yang diwariskan kepada Lily dari tante Ayu, seorang pasien yang pernah dirawat oleh Lily dipanti jompo.

***

Tante Ayu memang tidak memiliki seorang keluargapun, dia hidup sebatang kara, dan dengan Lily, ia menganggap Lily sebagai anak sendiri setelah tante Ayu memutuskan tinggal dipanti jompo, ia membutuhkan teman berbicara, bukan kesunyian dimasa tuanya.

Sebelum meninggal, tante Ayu sudah memutuskan bahwa Lilylah pewaris semua hartanya, pekerjaannya dimasa muda sebagai seorang aktivis dan penulis di bidang wanita, memberikannya cukup bekal dimasa tuanya untuk hidup dari royalti buku – buku yang pernah ditulisnya.

Lily tidak tertarik dengan harta, sepeninggal tante Ayu, semua harta, kecuali rumah, ia sumbangkan ke badan – badan amal, baginya sebuah rumah cukup, tidak lebih.

“Lily, kita sudah sampai dirumahmu, asri sekali”

“iya, rumah peninggalan tante Ayu, anda berminat untuk bertamu?”

“oh tidak, saya ada janji dengan Randy untuk membuat PR malam ini, kira – kira kamu keberatan jika saya bertamu besok sore? Dengan anak saya?”

“wah, bagaimana ya...”

“tidak apa – apa, Randi bukan anak nakal kok”

“boleh, maksud saya tadi bukan menolak, namun tentu saya ingin menjamu tamu saya sebaik mungkin”

“tidak perlu jamuan yang aneh – aneh, mungkin kita dapat rekreasi ke kota bertiga”

“baiklah, saya tunggu esok malam”

***


Sudah tiga minggu semenjak Iptu Wahyu sering kerumah Lily, hampir tiga hari sekali Iptu Wahyu datang bertamu, terkadang bersama anaknya, terkadang ia datang sendiri.

Malam itu Lily baru pulang nonton bioskop bertiga bersama Wahyu dan anaknya, Lily tidak merasa canggung dengan Randy, bahkan mereka akrab, terkadang mereka tertawa berdua sambil bergurau dan menebak akhir cerita film di bioskop.

“Aku cantik, kan?” kata Lily kepada dirinya di depan cermin.

“Cantik dan sempurna, seperti bunga Lily, namun beracun, bagi yang terlalu terpesona keindahan diriku”

“satu... dua... tiga... empat... lima... enam... tujuh... tanpa jejak, tanpa curiga, tanpa kekisruhan, semua dalam ketenangan yang sunyi, semua korban adalah para manula yang tidak menarik perhatian orang lain jika mereka mati dibunuh”

Ada rasa aneh yang memasuki dada Lily, senyuman dingin terbentuk diwajah cantiknya, kepuasan bahwa ia dapat menentukan pasien mana yang ingin ia bunuh, dan pasien mana yang ia biarkan hidup, cukup dengan menggunakan racun yang berasal dari sulingan autumn crocus, yang setara arsenik, ia menghabisi nyawa manusia tanpa jejak dan tanpa kecurigaan polisi.

Kesempurnaan dalam seni membunuh adalah jika tidak terendus oleh orang lain, bagi Lily, bahkan jikapun jenazah korbannya di autopsi, ia yakin bahwa residu racun sulingan tangannya akan bersih.

“prang!”

Lily membanting gelas yang berada ditangannya, ia teringat perkataan wahyu soal pembunuhan yang baru terjadi di kota itu.

“Pembunuhan yang baru terjadi ini mungkin sebagai undangan kepada pihak kepolisian untuk mengungkapkan siapa pembunuhnya”

Bagi Lily sebuah tindakan narsitis dalam melakukan pembunuhan berantai dikota itu sebagai penghinaan terhadap keindahan seni membunuhnya yang tanpa jejak. Berarti sang pembunuh berantai itu telah mengejeknya dan mengajaknya perang secara terbuka.

Nafasnya naik turun menahan kemurkaan dirinya, ia memikirkan cara menghancurkan orang yang telah terang – terangan menantangnya itu, namun ia tidak tertarik untuk bertindak secara frontal dengan menunjukkan teknik membunuhnya, ia ingin mempermalukan sang pembunuh saingan dengan membuka topengnya dan modus yang ia gunakan.

 TOOT TOOOT… TOOT TOOOT.. DWUIIIIIIIOUT.. TOOT TOOOT…

Tiba – tiba rumah Lily diterangi oleh lampu mobil kepolisian, ia mendengar suara lars sepatu turun dari dalam mobil, nalurinya ingin berlari, namun insting dasarnya sebagai pembunuh menyuruhnya agar tetap tenang.

“SAUDARI LILY, KAMI DARI KEPOLISIAN, HARAP SEGERA KELUAR ATAU KAMI AKAN MEMAKSA MASUK”

Suara Iptu Wahyu dari mobil polisi menimbulkan keanehan didalam hati Lily, apakah tindakannya ketahuan, ataukah...


BERSAMBUNG...

Thursday, August 20, 2015

Interogasi detektif Lopez



“Maaf terlambat, Jack, salju memenuhi mobilku, terpaksa harus dibersihkan terlebih dahulu. Hmm... kulihat anda sendirian, apakah perlu ditemani seorang pengacara, mungkin?”

“Tidak perlu, saya bisa membela diri saya, karena saya yakin tidak bersalah. Ya, beberapa waktu ini salju sedang mengganas di New York, seorang tuna wisma sepertiku paling merasakan kedinginan diluar sana”

“waw, pasti susah hidup ditengah kebekuan”

“ya, tidak seperti rumah – rumah orang kaya dengan penghangat ruangan mereka, jadi informasi apa yang anda butuhkan dari saya?”

“Tenang, Jack, ini Cuma interogasi sedikit mengenai pembunuhan keluarga Arthur di sebuah kawasan perumahan elit, kita lakukan secara perlahan, oke? Semua percakapan sudah terekam, untuk membuat rileks, apa anda butuh secangkir kopi, atau beberapa batang rokok?”

“tidak perlu, aku sudah nyaman dengan keadaan ini, sungguh capek berada dalam tahanan selama beberapa hari, hanya karena kematian keluarga kaya, sementara jika terjadi kematian para tuna wisma, tiada seorangpun peduli”

“Sepertinya anda membenci orang – orang kaya, Jack”

“Ya, tentu saja, bayangkan istri anda, maaf, anda seorang wanita, bayangkan pasangan anda meninggalkan anda hanya untuk menikahi orang kaya, terkadang aku masih merindukan rambut pendeknya yang kecoklatan”

“maaf, aku sedikit sentimental, tentu saja aku membenci orang – orang kaya, bagaimana mungkin mereka dapat hidup nyaman dalam kehangatan, sementara kami, para tunawisma hidup dalam kedinginan ditemani tong pembakaran dan sebotol minuman keras murahan, bagaimana mungkin mereka dapat nyenyak tidur dan memamerkan kekayaan mereka, sementara kami tidur kelaparan dan kedinginan di emperan – emperan toko serta jembatan”

“waw, aku tidak menyangka pertanyaanku menyinggung dirimu, maaf aku tidak tahu”

“interogasi macam apa ini? Hanya berputar – putar tidak tentu arah! Seorang detektif seperti anda hanya menanyakan pertanyaan kosong? Bodoh sekali kota sebesar New York memiliki seorang detektif bodoh seperti anda”

“saya sudah mengatakannya, kita melakukannya dalam keadaan santai”

“Sial!”

“mohon tidak menggunakan kata – kata yang tidak sopan dalam ruangan ini, oke?”

“Dasar sial! Kau tahu dibalik cermin itu rekanmu mungkin menertawakan diriku, jangan kira aku tidak pernah memasuki ruangan ini”

“Hey, bisakah kita bersepakat untuk berlaku sopan?”

“tidak perlu mengajarkanku sopan santun, nona, aku lebih berpengalaman daripada anda”

“oke... oke... dapatkah kita bersepakat dahulu untuk menjaga kesopanan?”

“Sial! Coba anda lihat catatan kriminalitas saya! Saya tidak pernah ditahan karena melakukan sebuah kejahatan, nona cantik”

“Ya, saya sudah membaca catatan kriminalitas anda, semua bersih tanpa ada satupun kejahatan disana”

“jangan coba – coba berlaku sopan kepada diriku, nona... nona Lopez, sebaiknya langsung saja ke pokok persoalan”

“baik, saya sudah mengatakan bahwa kita melakukannya secara nyaman”

“suruh rekanmu kemari, jangan bermain sandiwara busuk polisi baik dan polisi jahat”

“itu hanya di film, hanya saya detektif untuk kasus ini”

“benarkah? Jangan – jangan kau berpura – pura menjadi polisi baik, kemudian tiba – tiba rekanmu datang memukuliku”

“sudah saya jelaskan, hanya saya detektif yang mengambil alih kasus ini”

“ada kebusukan dibalik wajah cantikmu”

“hati – hati kalau berbicara, tuan Jack”

“jangan coba – coba menipuku, aku sudah tahu semua sifat wanita”

“untuk apa saya melakukan itu semua, tuan Jack?”

“ya, tentu saja, agar seorang tuna wisma dapat dijadikan tersangka pembunuhan, apalagi? Coba lihat catatan kriminalitasku, mencuri sebatang korek api pun aku tidak pernah”

“sudah saya katakan, saya telah membacanya, dan tidak ada catatan kejahatan disana”

“kalian pihak kepolisian pasti bersekongkol dengan para orang kaya itu untuk membersihkan kami, para tunawisma, dari jalanan dengan cara menjadikan kami sebagai tersangka kejahatan”

“semua orang sama di mata hukum”

“itu hanya teori belaka, buktinya jika seorang kaya mati, seluruh kota tiba – tiba menjadi peduli, tetapi jika seorang tuna wisma mati, seluruh kota merasa senang karena sampah kota telah dibersihkan”

“saya harap anda dapat mengendalikan diri”

“Tenang?! Ketenangan apalagi yang anda butuhkan, saya sudah cukup merasa tenang”

“kita berada dalam proses penyidikan, tuan Jack, saya harap anda tenang, oke? Sehingga interogasi ini dapat dilanjutkan kembali”

“Busuk! Bahkan institusi sebesar kepolisian kota New York menjadi sarang kebusukan orang – orang kaya disini”

“Maksud anda?”

“Anda mendengar kata saya tadi kan?”

“Anda bermaksud menghina institusi kepolisian?”

“ini bukan fitnah, ini sebuah kenyataan!”

“henti kan semua ucapan omong kosong anda, tuan Jack”

“jangan coba – coba mengancam saya, nona...”

“atau..”

“atau saya akan...”

“akan apa?”

“Diam! Jika anda tidak berada dalam ruangan ini, atau seorang petugas polisi, saya hajar anda!”

“Anda mengancam saya?”

“ya, tentu saja!”

“sudah puas?”

“Sial! Seharusnya aku tidak berada didekat rumah terkutuk itu! Seharusnya aku bermabuk – mabukan saja dibawah jembatan”

“tadi saya mendengar anda memfitnah institusi saya, apakah anda melakukannya dengan sadar?”

“ya, tentu saja!”

“Baiklah tuan Jack, sepertinya ada beberapa hal yang harus kita luruskan disini, saya dapat mempergunakan percakapan kita untuk menuntut anda karena menghina institusi kepolisian, setelah itu anda meracau tidak tentu arah tentang dongeng polisi baik dan polisi jahat seperti di film – film, saya hanya bisa mengatakan itu hanya ada di film sementara interogasi ini adalah hal nyata, oh ya... saya juga pemegang sabuk hitam dan 10 karate, meskipun saya seorang wanita, saya dapat menghajar anda dengan tangan saya sendiri, anda mengerti?”

“ya, maaf saya tadi lepas kendali”

“saya ingin membuat beberapa kesepakatan selama proses penyidikan ini berlangsung”

“oke, maafkan saya, saya tidak serius”

“pertama, jangan mempergunakan bahasa yang tidak sopan”

“baiklah, ngomong – ngomong dapatkah ucapan saya tadi dihapus dari rekaman ini?”

“bukan wewenang saya”

“hm... oke”

“kedua, cobalah kendalikan emosi anda dalam proses penyidikan ini”

“baik”

“kita bersepakat?”

“oke, kita sepakat”

“ karena anda ingin langsung ke pokok persoalan, tidak ingin basa – basi, ceritakan tentang malam kejadian saat keluarga Arthur tewas menggenaskan”

“ Saat itu pukul 10 malam, saya berada ditrotoar sedang membongkar tong sampah para aristokrat, biasanya saya mendapat makanan yang masih baik, yang mereka buang dalam tempat sampah”

“bagaimana cara anda bisa memasuki kompleks perumahan itu?”

“tentu saja saya bisa memasuki kompleks perumahan itu karena tidak ada satpam penjaganya, anda ini bagaimana?”

“maksud saya, bukankah jarak tempat anda tinggal dengan rumah milik keluarga Arthur berjarak 25 mil?”

“ Orang – orang mencari makan ke benua lain dengan menggunakan pesawat, kenapa aneh dengan jarak 25 mil saya mengais makanan di tong sampah orang – orang kaya?”

“ Berarti anda sering berkunjung kesana?”

“hanya dua minggu terakhir ini”

“baik, ceritakan apa yang anda lihat saat malam kejadian tersebut”

“ waktu itu saya sedang mengorek tong sampah, saya melihat keseberang ada seorang latin masuk kedalam rumah, kau tahu, pertama sekali orang latin itu membunuh sikecil, aku tidak tahu nama gadis berambut coklat sebahu itu, setelah itu ia membunuh saudara lelaki gadis tersebut didepan pintu kamar, saya jelaskan terlebih dahulu, sebelum lampu kamar itu dimatikan, saya bisa melihat jelas melalui kaca jendela, kemudian si latin itu membunuh Arthur dan istrinya di ruang tamu, mereka baru saja sampai dirumah usai pembunuhan anak mereka, mungkin baru pulang dari pesta”

“bagaimana posisi anda?”

“ saya melihat langsung ke rumah itu”

“ apakah pembunuh itu tidak melihat anda?”

“saat itu saya berada di dekat tong sampah, kemudian saya bersembunyi dibalik pohon disamping tong”

“bagaimana cara pembunuh itu beraksi?”

“ saya melihat pertama sekali dia mencekik gadis itu, kemudian karena abangnya keluar, dia memukuli saudaranya dengan martil, setelah itu ia mendengar sebuah mobil masuk perkarangan rumah, ia mematikan lampu kamar atas dan lantai dua, kemudian ia bersembunyi diruang tamu sampai Arthur dan istrinya masuk baru langsung menghabisi mereka”

“ Baiklah Jack, saya sudah dapat menyimpulkan kasus ini”

“Maksud anda, pembunuhnya sudah tertangkap?”

“maksud saya, andalah pembunuh sebenarnya”

“anda gila, bagaimana mungkin?”

“pertama, gadis kecil itu berambut sebahu kecoklatan seperti mantan istri anda, sehingga anda menjadikan dia sasaran pertama, kedua, karena mendengar suara gaduh, abangnya keluar kamar, dan entah bagaimana anda mendapatkan martil, anda memukuli kepala saudara lelakinya berulang kali dengan alat itu, setelah itu anda mendengar suara mobil yang masuk kepekarangan rumah, dengan panik anda menunggu diruang tamu dan kemudian membunuh pasangan tersebut”

“itu hanya asumsi belaka, anda tidak memiliki dasar”

“ tentu saja saya memiliki dasar yang kuat, pertama, gadis itu berambut coklat sebahu yang mengingatkan anda dengan mantan istri anda, kedua, saya kira hanya orang gila yang menempuh jarak 25 mil ditengah salju untuk mengais makanan ditong sampah”

“ saya kelaparan, dan saya tidak mendobrak rumah tersebut”

“ bukan kelaparan, namun kebencian terhadap orang kaya yang membuat anda melampiaskan dendam, lagi pula rumah itu tidak terkunci, disana lingkungan aman, mereka terbiasa tidak mengunci pintu saat malam sebelum kejadian di rumah Arthur”

“ saya tidak akan berbicara lagi, carikan saya pengacara”

***


Setelah proses interogasi selesai, detektif Lopez mengirimkan pesan melalui handphonenya.

kambing hitam untuk kasusmu sudah aku dapatkan, dimasa depan jika beraksi kembali, gunakan otak, bukan nafsumu belaka”


=  T A M A T =

Total Pageviews

Followers

Archive

 

© 10-5-2014 Empuss miaww. All rights resevered. Designed by Diubah karena banyak script anehnya

Back To Top