“Mati”
Hanya kata itu yang singgah alam
pikiran Raisa, sambil memegang undangan pernikahan ditangan kirinya dan
sekaleng racun serangga ditangan kanannya.
Tekadnya sudah bulat untuk mengakhiri
hidupnya, hidup yang telah lenyap dia rasakan setelah mengetahui pengkhianatan Sami
terhadap cintanya, bagaimana mungkin seorang pria dapat berselingkuh
dibelakangnya, disaat dia telah berjanji pada Raisa untuk menjaga cinta mereka
berdua hingga jenjang pernikahan, bahkan sampai maut memisahkan mereka.
Impian kebahagiannya sudah musnah, rasa
kenyamanannya sebagai seorang wanita sudah hilang, harga dirinya sudah diinjak
– injak oleh vera, selingkuhan Sami yang juga sahabat karibnya, emosi telah
memenuhi seluruh pikirannya.
Buntu
Jika dia harus hidup, untuk apa? Apakah
sanggup Raisa melihat kebahagiaan Sami dan Vera diatas tangisan kesedihannya?
Tidak, dia tidak bisa menerima kenyataan itu, lebih baik mati berkalang tanah
daripada melihat senyuman mereka diatas pernikahan, lebih baik berputih mata
daripada dia menerima kenyataan bahwa cintanya dikhianati.
Direguknya racun serangga yang ada
ditangan kanannya, rasa pahit dan aneh menelusuri rongga kerongkongan Raisa, tidak
lama kemudian racun itu dipompa oleh jantung keseluruh tubuhnya lewat darah
yang menapaki setiap pembuluh nadinya.
Sakit
Saat racun itu menyebar keseluruh
tubuh, badan Raisa kejang – kejang menerima zat asing itu, buih putih keluar
dari bibirnya, nadinya melemah, pikirannya berat, matanya mulai merasa gelap, semakin
lama semakin bertambah sakit, dipuncak kesakitan itu, dia menyerah, dan
berteriak sekerasnya.
***
“Brak”
Pintu kamar Raisa didobrak oleh pak Haryono,
terkejut dia melihat putrinya kejang – kejang membiru dilantai kamar.
Dengan panik berlari menuju tubuh
anaknya, dipeluknya tubuh Raisa sambil meraung meminta tolong, disentuhnya nadi
Raisa yang mulai melemah sedikit demi sedikit.
Orang – orang mulai berdatangan kerumah
pak Haryono, ada yang sambil membawa kelapa muda, untuk diminum agar racun yang
ada dalam tubuh Raisa bisa keluar, sementara pak RT menggenggam teleponnya
menghubungi rumah sakit terdekat, agar nyawa Raisa bisa diselamatkan secepat
mungkin.
Tidak lama kemudian, ambulanpun datang,
dan tubuh Raisa dibawa menuju rumah sakit terdekat dikota itu.
Semua tetangga merasa prihatin dengan
cobaan yang diterima oleh pak Haryono, setelah kepergian istrinya, mereka tidak
menyangka, Raisa dapat berpikir sependek itu untuk mengakhiri hidupnya, seorang
gadis yang periang dan selalu optimis dalam hidupnya, bukankah dengan bercerita
kepada mereka, masalah Raisa dapat dicarikan jalan keluarnya?
***
Lampu – lampu lorong rumah sakit berjalan
diatas mata Raisa, rekaman peristiwa yang telah berlalu seolah diputar kembali
kehadapannya, ingatannya kembali saat dia berjumpa tadi pagi ditaman kampus
dengan Vera, mata Vera membengkak karena terlalu banyak menangis.
“aku hamil, Raisa...”
“ha... hamil? Bagaimana mungkin kamu
hamil?”
“aku terlalu terbuai oleh rayuan
seorang lelaki, cintaku membuatku buta akan kesadaran pikiranku, Raisa, semua
hilang dalam kenikmatan cinta sesaat”
“kau tahu, Raisa, benih yang tertanam
dalam rahimku ini memaksa naluri keibuanku muncul sehingga aborsi yang
ditawarkan lelaki bajingan itu tidak aku setujui”
“terus, lelaki brengsek itu kabur?”
tanya Raisa dengan penuh kegeraman.
“tidak, setelah kakak lelaki ku
menghajarnya sampai meminta ampun dan bersedia bertanggung jawab atas
kehamilanku atau perkara ini akan diperpanjang sampai ke urusan hukum”
“kenapa kau baru menceritakannya
sekarang, Vera? Setidaknya aku bisa membantumu melewati saat – saat sulitmu”
“bagaimana bisa aku menceritakan
kepadamu, rasa bersalahku kepadamu lebih besar dari rasa benciku kepada lelaki
itu”
“maksudmu apa? Aku tidak mengerti,
bagaimana mungkin dirimu bisa merasa bersalah kepada diriku? Seingatku kamu
tidak pernah melakukan kesalahan apapun”
“lelaki itu...”
“lelaki itu siapa? Vera, jangan
membuatku bertambah bingung”
“Sami...” mata Vera menunduk ketanah.
“a... apa? Siapa? Tolong ulangi
perkataanmu tadi, Vera”
“kamu pasti mendengar perkataanku, Raisa,
lelaki itu adalah kekasihmu, dan aku adalah seorang yang menghujam tepat dijantungmu
dari belakang”
“jangan berdusta, Vera, please... ini
bukan sebuah gurauan” kata Raisa, butiran air jatuh dari sudut matanya, tangannya
menutup mulutnya seolah tidak percaya.
“pukul aku, Raisa, pukul sampai kamu
puas...” lirih Vera.
“ini tanggal pernikahan kami sebagai
buktinya, mungkin hal ini sangat menyakitkan untukku, terlebih untuk dirimu,
seorang sahabat rela mengkhianati sahabatnya dengan cara merebut kekasihnya”
diletakkannya secarik undangan pernikahannya dengan Sami ditepi paha Raisa
sambil mengusap air matanya yang membasahi pipi.
“aku pamit dulu, Raisa... terima kasih
pernah menjadi sahabat terbaik untukku, penyesalan ini akan aku bawa sampai diriku
mati nanti, aku berharap kamu dapat berjumpa dengan seorang pria yang tulus
mencintaimu dimasa depan, tidak sepertiku yang harus hidup dengan kenangan masa
lalu yang telah aku hancurkan”
Vera bangkit dari tempat duduknya,
kakinya melangkah perlahan menjauhi bangku taman tempat dia dan Raisa duduk
bersama, matanya menunduk kebawah, hatinya tercabik – cabik karena telah menyakiti
sahabatnya semenjak bangku SD dahulu sampai mereka bersama kuliah diuniversitas
yang sama hanya karena terbujuk rayuan seorang pria, air mata tidak berhenti
mengalir dari pipinya.
Lama Raisa terdiam dibangku taman itu,
dia berharap bangun dari mimpi pagi ini, dipandangnya secarik undangan yang
terletak disampingnya, berkhayal bahwa nama yang terdapat disana bukanlah nama
kekasih dan sahabatnya.
Sami Prayoga
Dan
Vera Lisdianto
Hatinya lebih teriris melihat apa yang
dia baca dikertas itu daripada mendengar cerita Vera barusan, dihentakkan
kakinya berharap ini semua ilusi, namun ternyata sebuah kenyataan.
Dia bangkit dan berlari dari taman
kampus pagi itu, berlari dari sebuah kenyataan bahwa dia telah dikhianati,
bahwa cintanya ternyata dibalas oleh kepalsuan, berlari menuju mobilnya dan
ingin pulang kerumah.
“hanya lewat bunuh dirilah dirimu dapat
menghilangkan semua kesedihan” bisik setan dalam hatinya.
***
“Raisa...”
panggil pak Haryono.
Perlahan Raisa membuka matanya, rupanya
dia berada dibangsal rumah sakit.
Ditatapnya ayahnya, ada rasa bersalah
yang menyelimuti pikiran Raisa, karena telah berbuat kesalahan fatal dengan
meminum racun serangga karena pikiran pendek telah menguasai nalarnya.
Bukankah ayahnya sangat menyayangi
dirinya? Kenapa seorang pria asing yang baru dia kenal enam tahun, bisa
mengalahkan cinta ayahnya yang hadir semenjak Raisa ada didunia ini?.
Ayahnya lah yang senantiasa ikhlas
mencintai dirinya sebagai kepala keluarga tanpa berharap sesuatu apapun,
semenjak kematian ibu, Ayah telah berperan ganda dalam hidup Raisa sebagai
seorang Ayah dan Ibu.
“Ayah, maafkan kebodohan Raisa, Raisa
terlalu pendek dalam berpikir”
Pak Haryono mengusap air matanya,
bagaimanapun Raisa melakukan kesalahan fatal, dia harus memaafkannya dan
memberinya suport agar Raisa bisa bangkit kembali.
Perlahan Pak Haryono bangkit dari
tempat duduknya, diruangan rumah sakit menuju pembaringan Raisa, diusapnya
rambut Raisa dengan kasih sayang.
“Nak, jangan berbuat bodoh lagi ya? Ayah
takut kehilangan kamu...”
“Iya Ayah, maafkan Raisa, Raisa janji
tidak akan berbuat bodoh lagi dan mengecewakan ayah”
Dengan tangan yang masih lemah dan masih
diinfus, dirangkulnya tubuh ayahnya, ayahnya pun membalas memeluk kepada Raisa
kedalam dadanya, seolah takut kehilangan, mereka berdua menangis bersama malam
itu.
***
Lima tahun sudah semenjak Raisa mencoba
mengakhiri hidupnya setelah kehilangan cintanya.
Kebodohan yang pernah diperbuatnya
masih membekas sampai saat ini, terkadang jika dia mengingat kejadian itu, dia
merasa sedih, sebuah kepalsuan cinta yang membutakan mata hati dan pikirannya.
Raisa sedang merapikan kain jahitannya,
setelah dia merancangnya selama sebulan, tiga stel pakaian berwarna hijau muda
kini ada dihadapannya, dan dia memandang pakaian itu sambil tersenyum.
“Ibu” teriak Yogi.
“Eh Yogi, kapan pulangnya? Mana tidak
bilang assalamualaikum lagi...” kata Raisa sambil mencubit pipi anaknya.
Mereka tertawa berdua, dan saling
bergurau antara satu dengan lain.
“Assalamualaikum” sebuah suara berasal
dari pintu rumah.
“Waalaikum salam” jawab Raisa
Raisa bergegas menuju pintu rumah,
mengambil tas milik Tomi, dan sekaligus mencium tangan suaminya tersebut.
“sudah makan, mas?” tanya Raisa sambil
tersenyum manis, menampakkan lesung pipitnya.
“belum, mana enak makan kalau tidak
sama mama dan Yogi” jawab Tomi.
“mama baru menyelesaikan baju kita
bertiga, bagus ngga?” tanya Raisa.
“wah, bagus banget” kata Tomi sambil
melihat karya istrinya dengan kagum.
“udah lapar nih, makan yuk”
“Oh iya, mama juga sudah buat lauk
kesukaan mas dan Yogi” jawab Raisa.
Mereka bertigapun melangkah ke meja
makan untuk menikmati santap siang bersama.
Ada rasa cinta melingkupi rumah itu,
dua cinta sejati yang menggantikan satu cinta palsu di hati Raisa, dia
bersyukur, masih diberikan kesempatan kedua dalam hidupnya oleh Tuhan.
=
T A M A T =
Pekanbaru, 25 juli 2015