Aku mengenalnya sebagai seorang gadis Chinese yang cantik dan ramah, senyum hangatnya yang senantiasa dia tebarkan di antara teman – temannya menambah aura kecantikan terpancarkan dari dalam dirinya.
Namun kenyataannya, mentari yang bersinar di atas puncak himalayapun tidak mampu untuk mencairkan salju – salju abadi penutup puncaknya, tidak di masa dahulu, tidak di masa kini, bahkan mungkin untuk beberapa ratus tahun kedepan, salju itu akan tetap berada di sana.
Aku mencintainya, yah,,, sungguh aku mengagumi setiap gerak gerik tubuhnya, sikapnya, sifatnya, apapun yang dia lakukan sangat menarik untukku. Jika cintaku untuk dirinya aku ibaratkan mentari, maka hatinya adalah salju yang menetap di puncak – puncak gunung, tempat aku berusaha mencairkan kebekuan itu.
Kisah asmara ini terjadi delapan tahun lalu tepatnya, saat aku dan dia sama – sama sedang kuliah si sebuah universitas swasta di Jakarta.
***
“Brak,,,”
“Maaf” kataku dengan penyesalan saat menabrak seorang gadis berkacamata yang sedang melintas di ruangan rektorat.
“Ndak papa” katanya sambil tersenyum kecil.
Diapun berlalu meninggalkan diriku, namun tiba – tiba ada detak berbunyi di dalam jantungku saat aku melihat langkah kecilnya, kupandangi jacket kampus Psikologi yang dipakainya dari tempat aku berdiri.
Rasa penasaran yang menghuni hati membuatku ingin mengetahui siapakah dirinya, maka saat perkuliahan telah selesai, aku keluar dengan terburu – buru menuju fakultas Psikologi yang terletak dekat dengan fakultas teknik tempatku belajar.
Saat menyusuri taman kampus yang memisahkan kedua fakultas kami, aku melihat sosoknya sedang duduk di bangku kantin, sendiri sedang mengerjakan tugas perkuliahannya, akupun melangkah menghampiri tempat duduknya.
“Hai,,,” sapaku.
“Oh,,, hai juga” katanya sambil sedikit terkejut, tak lama sebuah senyuman menghiasi wajahnya.
“Sedang sendririan? Bolehkah aku duduk disini?” tanyaku sambil menarik bangku dihadapannya, tanpa menunggu ijinnya.
“Eh ya,, boleh,,”
“Aku sedang menunggu teman – teman yang sedang masuk kuliah ne, jadwalku sudah kosong sekarang” katanya lagi.
“Maaf kejadian tadi pagi, aku tidak sengaja, kenalkan, namaku Yoga” kataku memperkenalkan diri.
“Namaku Chen, lebih tepatnya Elisabeth Chen” jawabnya sambil menerima uluran tanganku.
Begitulah awal perkenalanku dengan dirinya, hampir setiap hari aku berkunjung ke kampusnya, untuk sekedar berbincang dengan dirinya, melepaskan kerinduan akan sosoknya. Namun semakin sering aku menjumpainya, semakin kuat rasa aneh yang kini hinggap di dalam dada.
“Bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan princess?” tanyaku kepada Chen suatu saat di kantin tempat kami sering berjumpa.
Dia hanya tertawa kecil menunjukkan deretan gigi putih yang rata serta lesung pipit diwajahnya yang menawan.
“Kenapa engkau memanggilku Princess?”
“Karena dirimulah putri yang menuliskan kata – kata indah dalam diari hatiku” jawabku sedikit menggombal, dan tentu saja jujur!!
Dia tertawa semakin kencang.
“Kamu itu gombal, ah,,” katanya lagi.
“Tidak, itu jujur dari hatiku”
Tiba – tiba kesunyian tercipta diantara kami, Chen sudah menganggap ucapanku dengan serius.
“Maksudmu?” katanya.
“Ehm,,, aku,,” lidahku menjadi kelu.
“Aku mencintaimu, Chen, semenjak kita pertama berjumpa, rasa ini menguasai hati dan setiap aliran darah yang mengalir dalam tubuhku”
“Maaf, Yoga, aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman, tidak lebih dan tidak kurang” katanya.
“Bisakah aku memberimu sedikit waktu untuk menjawab dan memikirkan kembali pernyataan hatiku?” kataku memohon.
“Maaf yoga, aku tidak bisa, maaf aku mau kembali lagi ke kelasku” katanya sambil berdiri meninggalkan aku yang duduk sendiri di kantin ini.
Semenjak saat itu, aku kesulitan untuk menemukan sosoknya kembali, semua telefonku tidak pernah di angkatnya, semua smsku tidak pernah di replynya, namun tidak juga membuatku lelah mengirimkan sms – sms semua perasaanku kepada dirinya, entah dia baca ataupun tidak.
Akhirnya dengan sedikit keberanian, aku mencoba mengunjungi rumahnya sendirian, tanpa teman.
“Ning Nong”
“Mencari siapa, nak,,?” Tanya seorang bapak yang membuka pintu rumahnya, mungkin orang tuanya.
“Mencari Chen, Pak, apakah dia dirumah?”
“Oh, Chen,,, Dia ada, ayo silahkan masuk dahulu”
Aku duduk di kursi tamu sambil menunggu Chen yang sedang beraktifitas di dapur.
“Yoga,,,” kata Chen dengan raut muka sedikit terkejut.
“Iya, Chen, maaf aku langsung kerumahmu tanpa sempat memberitahu sebelumnya”.
“Mmm, ayo kita duduk di teras saja, tidak enak berbicara hal pribadi di ruangan ini” ajaknya.
Kamipun pindah ke teras depan rumahnya, duduk disana sambil memandang kendaraan yang berlalu lalang di depan rumahnya.
“Chen,,, bolehkan aku berbicara?” kataku memecah kebisuan diantara kami.
“Boleh,,” katanya dengan berbisik.
“Chen, maaf aku harus mengungkapkan kembali perasaanku kepada dirimu”
“Sejujurnya, bagi diriku, untuk mencintai dan mengungkapkan perasaan kepada seorang wanita sangatlah sulit, namun karena aku akan menyesal jika aku tidak pernah mengungkapkannya kepada wanita itu, apakah dia akan menolak, membenci, menerima ataukah hanya mendengarkannya saja”.
“Aku mencintaimu, Chen, semenjak saat pertama kita bertemu”. Kataku dengan panjang lebar.
Chen termenung sejenak setelah mendengarkan ucapanku, kemudian dia berkata.
“Maafkan aku, Yoga, yang telah hadir dalam hatimu, sesungguhnya aku yakin kepada ketulusan dalam hatimu. Aku memahaminya dan sungguh tersentuh oleh pengorbananmu, namun saat ini rasa cinta kepada seorang pria tidak dapt hadir di hatiku, semenjak aku sering di sakiti oleh banyak pria, aku merasa trauma untuk tersakiti kembali, tanpa aku tahu kapan akan terobati. Cinta itu menyakitkan bukan? Saat dirimu mencintaiku, dan aku tidak dapat mencintaimu. Maafkan aku, Yoga” kata Chen dengan lembut.
Hari itu, untuk kedua kalinya hatiku hancur dan kecewa oleh seorang wanita yang sama. Princess Diary, wanita yang telah menuliskan kisah sedih dalam hatiku.
Setelah 8 tahun kami tidak berjumpa, saat aku terakhir melihatnya sedang menyebrang jalan 8 tahun lalu, aku melihatnya kembali di Mall terbesar kota ini sedang berbahagia menggendong anaknya dan ditemani suaminya di sebuah tangga escalator saat kami berpapasan menuju arah yang berbeda, namun saat aku ingin memanggilnya, lidahku menjadi kelu tidak bisa mengeluarkan suara. Dia tidak melihat aku yang sedang berdiri di sini.
“Akhirnya kamu berbahagia, Chen,,,” bisikku dengan lirih.
***
catatan Chen:
malam sudah menunjukkan pukul 10.00. chen baru saja selesai menidurkan anaknya di dalam kamar, suaminya sedang mengadakan meeting dengan rekan bisnisnya di luar rumah.
Ada rasa gelisah dalam hatinya saat teringat sebuah kejadian di tangga escalator mall siang tadi. Diam - diam dia menuju ruang baca mengeluarkan sebuah diary kusam yang berisi catatan – catatan masa lalunya.
“Dear Diary,,,
Sudah lama aku tidak menyapamu, semenjak aku terakhir menulismu akhir perkuliahan dahulu.
Masih ingatkah kamu dengan sosok Yoga? Orang yang pernah 2x mengungkapkan perasaannya pada diriku dan 2x juga aku menolaknya, karena aku belum siap untuk kembali menerima kehadiran seseorang dalam hatiku.
Tiba – tiba hari ini aku merasa kehadirannya kembali saat sedang ditangga escalator Mall, Yoga,,, seorang pria yang telah mengorbankan nyawanya untuk menolongku dari hantaman truk yang menerobos lampu merah.
Dia telah memberikan aku nyawa kehidupan yang kedua, demi aku, dia mengorbankan dirinya. Semenjak kejadian itu, aku mengerti bahwa tidak semua laki – laki itu suka menyakiti hati wanita.
Sinar sang mentari itu telah berhasil mencairkan kebekuan salju yang bertahta dalam hatiku, namun sayang, dia telah tenggelam di ufuk barat.
Kini, mentari yang lain telah bersinar kembali di hatiku, dan aku berjanji kepada diriku sendiri, agar mentari itu tetap terus bersinar menyinari puncak hatiku”
Tamat…
0 komentar:
Post a Comment