Pagi – pagi
adalah waktu yang sangat menenangkan bagi diriku untuk duduk diteras rumah
menikmati suasana alam yang indah, melihat mentari terbit, dan mendengar suara
burung berkicau yang sangat menenangkan hati.
Tak beberapa
lama, istri tercintaku pun datang membawa gorengan dan segelas kopi, sambil
tersenyum, dia meletakkan panganan pagi diatas meja dan sekaligus ikut duduk
dibangku samping meja menemani diriku.
“mas, masih
ingat mbak rani?” tanya istriku.
Mbak rani,
seorang janda muda yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya dua tahun lalu
dalam sebuah kecelakaan maut di jalan raya, dalam pikiranku.
“Oh, mbak Rani?
Ingat” kataku sambil kopi diatas meja dan mulai menyeruputnya.
“bagaimana kalau
mas melamarnya sebagai istri kedua?” kata istriku tiba – tiba.
“bruuutttt”
cairan kopipun menyembur dari mulutku membasahi lantai.
“mama ngomong
apa sih?” kataku sambil menyeka mulut.
“mama serius ini
mas, mama kasihan sama mbak rani harus menghidupi seorang anaknya seorang diri tanpa suami”
“ah, papa mau
kekantor dulu, sudah telat” kataku sambil kabur dari percakapan yang membuatku
terkejut.
***
Jalanan menuju
kantor macet pagi itu, sambil menunggu lampu merah, pikiranku melayang pada
percakapan tadi pagi, jujur saja, menikah lagi, disuruh istri pula, siapa sih
yang ngga mau, batinku.
Dan bayangan
tentang rani pun melayang dalam pikiran, rani, seorang wanita yang cantik,
lembut dan keibuan, beda dengan istriku yang agak keras dalam mempertahankan
pendapat yang dia anggap benar.
Tentu
menikahinya sangat membahagiakan bagi seorang pria, dilayani dengan lembut dan
penuh keibuan, menurut apa kata suami, pergi bersama ke kantor setiap harinya
bersamaan, wah sebuah pengalaman yang menyenangkan dong.
“Teeetttt!”
Suara klakson
mobil membuyarkan lamunan pagiku, oh, sudah lampu hijau rupanya, segera ku gas
motor bututku untuk sampai ke kantor
***
“Arga, bagaimana
pendapatmu soal menikah kembali, disuruh oleh istri lagi” tanyaku kepada Arga,
teman sekantor.
“Menikah
kembali? Apa sedang ada permasalahan dalam keluarga mu?” tanya Arga sambil
keheranan.
“Ah, tidak,
keluarga kami masih harmonis kok” jawabku.
“terus, alasan
istrimu menyuruh menikah kembali apa?”.
“karena dia
kasihan dengan temannya yang seorang janda ditinggal mati, harus membesarkan
seorang anak tanpa ada yang melindunginya”
“apa kamu siap,
membagi waktu antara istri pertama dengan istri kedua?” tanya Arga kembali.
“Wah, siap dong,
seminggu dirumah istri pertama, seminggu lagi dirumah istri kedua” jawabku
yakin.
“soal anak
gimana? Apa ngga bermasalah nantinya, yang satu anak kandung, sementara yang
satu lagi anak tiri”
“tentu saja aku
ngga mungkin membedakan mana anak kandung dan anak tiri, semua akan aku anggap
anak sendiri”
“pendapatan kamu
apa sudah mencukupi untuk dua keluarga?” tanya arga kembali.
“soal finansial
aku rasa tidak bermasalah, calon istriku yang satu lagi sudah bekerja, sehingga
jika aku melebihkan sedikit pendapatanku untuk istriku yang sekarang, aku rasa dia
ngga keberatan”
“oh, ya sudah,
berarti kamu sudah siap dong dengan konsekuensi pernikahan yang kedua, lebih –
lebih kita kerja di perusahaan swasta, ngga ada aturan yang terlalu mengekang”
kata Arga sambil kembali ke pekerjaannya.
Setelah
berdiskusi ringan bersama Arga, keinginanku untuk menyetujui keinginan istriku
untuk menikah kembali semakin besar, bukankah aku tidak sekedar menikah untuk
bersenang – senang seperti pikiran orang tentang mengenai poligami? Aku
bertanggung jawab untuk kedua keluarga, dan tentu saja aku akan berusaha
seoptimal mungkin berbuat adil diantara istri – istriku nantinya.
***
Motorku baru
saja sampai dihalaman rumah, dengan keyakinan diri untuk menyetujui keinginan
istriku tadi pagi, kulihat Tyo, anakku sedang bermain dengan anak tetangga.
“Tyo!” panggilku
Tyopun berlari
kearahku, seorang anak yang cerdas dan menghibur diriku saat pulang kerja.
“mama mana?”
tanyaku.
“Di kamar mandi,
lagi mencuci baju”
“Yuk, kita lihat
mama” kataku.
Kamipun
melangkah ke arah kamar mandi, kulihat istriku sedang membilas pakaian kami
sekeluarga, sudah sering kubilang untuk membelikan dia sebuah mesin cuci agar
tidak memberatannya, namun dia menolak, tidak sanggup membayar tagihan listrik
katanya.
“Mama!” kataku
dan Tyo memanggil istriku.
“eh papa, sudah
pulang” katanya sambil menyeka keringat didahinya, diapun menghentikan
pekerjaan rumahnya, dan keluar dari kamar mandi menuju kearah diriku dan Tyo
berdiri, kukecup keningnya, seperti hari – hari biasanya, ada yang sedikit
berbeda antara hari ini dengan hari – hari sebelumnya, ada rasa mengganjal
didalam hati...
“sini, mama bawakan
ransel mas, pasti capekkan, ayo Tyo turun dong, jalan sama mama ke kamar”
Kupandangi
punggung istriku yang sedang berjalan bersama Tyo bergandengan tangan ke kamar,
sambil bercerita berdua, rasa yang mengganjal dalam hati tadi mulai bersuara
kepada diriku.
“Bukankah
sebenarnya aku memiliki keluarga yang bahagia...?”
Istriku yang
berjalan ini adalah seorang istri yang sangat istimewa, dia yang telah merawat
dan memanajemen rumah tanggaku sehingga seperti ini, dia telah mencurahkan
semua cinta dan perhatiannya agar rumah tangga kami selalu berjalan tanpa
konflik apapun.
Dia membesarkan
Tyo dirumah, menjaga kepercayaanku, semua pendapatanku kuserahkan kepadanya,
dan dia membaginya secara proporsional sehingga kami tidak pernah merasa
kekurangan meski aku tahu, sebenarnya pendapatanku itu tidak mencukupi.
Kekerasan
kepalanya lebih didasari oleh kenyataan, dia tidak ingin menambah beban yang
tidak perlu dalam keluarga ini, dia menghindari pertengkaran – pertengkaran
dimasa depan akibat sedikit kesusahan yang sebenarnya bisa diatasi saat ini.
Hatiku terharu
melihat besarnya pengorbanan istriku, relakah aku membagi kasih sayang yang
seharusnya “utuh” untuk semua yang dia lakukan untuk diriku dengan wanita lain,
meski dia yang menyuruhnya?.
“Papa, kok
termenung sih?” teriak Tyo dari dalam kamar kami
“eh iya, bentar,
tadi lihat handphone sebentar” kataku sambil ikut mereka ke kamar.
***
Malam itu,
setelah Tyo tidur di atas tempat tidur, aku mengajak istriku berbicara soal
percakapan kami tadi pagi.
“Mama, masih ingat
dengan Arga kan?” tanyaku
“Mas arga? Masih
mas...” katanya.
“tadi pagi mas
sudah berbicara dengan Arga, berhubung Arga juga seorang duda tanpa anak, maka
mas berpikir untuk menjodohkan Rani dengan Arga, mana tahu mereka berdua cocok”
kataku berbohong, sambil berpikir keras bagaimana untuk berbicara dengan arga
esok hari soal Rani.
“Oh, begitu mas,
ya sudah, nanti kalo sudah mas jelaskan soal mbak Rani kepada Mas Arga, nanti
mama bilangin ke Mbak raninya” kata istriku.
=TAMAT=