Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Monday, July 6, 2015

TETANGGAKU KAY, SEORANG GAY



Suasana sore yang nyaman di sebuah gang perumahan, anak – anak bermain dengan gembira, dan para orang tua sedang sibuk merumpi di teras rumah masing – masing bersama tetangga mereka yang berkunjung ditemani gorengan dan teh manis.

“kamu pernah dengar desas – desus tentang Nugroho?” tanya Reza membuka pembicaraan dengan Tomi diteras rumah Tomi.

“belum dengar, desas – desus tentang apa?” tanya Tomi ingin tahu.

”Nugroho itu seorang homo, nama panggilannya Kay dikalangan mereka”

“terus jika dia seorang homo, kenapa?” tanya Tomi.

“ya berbahaya bagi lingkungan ini, coba misalnya suatu hari dia melamar kamu?”

“berbahaya bagaimana, aku sering kerumah dia kok, nonton bola tengah malam, dan tidak diapa – apain sama dia” bantah Tomi.

“masa?”

“lah iya, bahkan sering sampai ketiduran dirumah dia sampai pagi, ngga pernah dia menyentuh diriku”

“ mungkin karena kamu sudah berumur, jadi tidak menarik bagi dia” kata Reza sambil terkekeh.

“Dasar” kata Tomi sambil melempar kerak gorengan ke arah Reza.

“Lagipula, sebagai tetangga yang baik, kita harus menghormati privasi dia dong, suka – suka dia mau lakuin apa dirumahnya, tidak usah sok sucilah, mau dia bawa pasangan homonya kerumah, itu urusan dia, kita harus menghormati kehidupan pribadinya, hidup kita dilingkungan ini selama ini damai – damai saja kok” lanjut Tomi.

“susah ngomong sama kamu, dikit – dikit bicara sok suci, dikit – dikit bicara harus menghormati kehidupan pribadi orang lain, padahal sebagai orang yang hidup bertetangga, kedamaian yang terjadi di lingkungan kita itu karena usaha kita menjaganya, demi masa depan anak – anak kita, segala upaya yang merusak kedamaian itu selalu kita tanggulangi bersama, makanya sering – sering ikut wiridan, gotong royong, poskamling, bukan nonton bola dibanyakin” balas Reza.

“lho, diriku kan sudah membayar semua iuran, iuran kematian, iuran wiridan, iuran gotong royong, iuran poskamling, jadi kalo tidak hadir kan tidak masalah, sudah diwakili oleh rupiah” kata Tomi dengan cuek.

“Hm...” Reza menghela nafas panjang setelah berdebat dengan Tomi, dia sudah kehilangan kata – kata.

***

Tengah malam itu, siaran pertandingan sepak bola sedang berlangsung di televisi dirumah Kay, para suporter pendukung masing – masing kesebelasan sedang bersorak dan saling mengejek lawannya, pertandingan berlangsung seru, dan harus berhenti saat jeda.

Tomi merasa haus, dia pergi kedapur Kay untuk mengambil minuman dingin, sampai disana ia melihat Kay sedang membuka kulkas dan juga mengambil minuman dingin dari dalamnya.
“banyak temanmu datang, Kay” kata Tomi.

“Ya begitulah, menjadi tempat berkumpul” jawab Kay sambil tersenyum.

“pria muda semua nih yang datang”

“sengaja aku undang, aku lebih suka berteman dengan brondong tanggung daripada berteman dengan orang – orang yang lebih tua”, Kay tertawa setelah mengucapkan kalimat tersebut, sambil mengedipkan matanya kepada Tomi.

Tomi tertegun mendengar perkataan Kay, sejenak pikirannya kembali ke masa lalu mengenang percakapannya dengan Kay.

“Aku itu menjadi gay mungkin semenjak dari bayi” kata Kay ditengah siaran pertandingan bola.

“lho, kok bisa kamu menjadi gay semenjak dari bayi?” tanya Tomi.

“karena aku dibesarkan oleh orang tua yang seorang gay, dan hidup serumah dengan pasangannya”

“jadi, kamu pernah diperkosa oleh orang tuamu?” tanya Tomi lagi.

“oh, nggak pernah malahan, malah mereka menyayangiku, tapi kehidupan mereka yang gay membuatku berpikir, bahwa homoseksualitas itu adalah realitas yang nyata”.

“seperti dirimu yang aku lihat, kamu mirip dengan kedua orang tuaku, meskipun kamu menikah dengan wanita, namun aku merasa jika kamu bisa menerima kalau anakmu menjadi seorang gay” kata Kay.

“mungkin iya, mungkin tidak, yang penting urusan kebahagiaan kamu itu urusan masing – masing, dan aku tidak peduli”. Jawab Tomi tidak yakin.

 Tiba – tiba Kay membelai bahu Tomi, membangunkan lamunan Tomi tentang percakapan mereka dimasa silam.

“Tomi, pertandingan bolanya sudah dimulai”.

“oh iya, sudah mau mulai ya?”

Merekapun kembali ke ruang tengah, menonton pertandingan bola yang sedang berlangsung kembali.

***

“Aduh, sakit ibu” teriak Adit kepada ibunya dikamar mandi.

“Kenapa nak?” tanya Sumi, istri Tomi, kepada Adit sambil berlari dari dapur menuju kamar mandi.

Ceceran darah menetes membasahi lantai kamar mandi, darah segar yang baru saja keluar dari luka yang berasal dari celana Adit, buru – buru Sumi membuka celana Adit, dan dia menjerit melihat luka menganga pada bokong Adit.

Tomi yang saat itu duduk didepan, berlari ke kamar mandi untuk melihat apa yang sedang terjadi, tiba – tiba lututnya lemas tak berdaya melihat anak kesayangannya terluka seperti ditusuk benda tumpul pada bagian bokongnya.

“Siapa yang melakukannya, nak?” tanya Tomi sambil tersedak sedih menahan tangisannya.

“Om Nugroho, pa...” kata Adit sambil menangis menahan sakit.

“Kapan dia melakukannya?”

“tadi siang, sepulang sekolah, Adit dipanggil om Nugroho, sambil menawarkan duit dan permen”

Tiba – tiba dunia menjadi gelap bagi Tomi, dan diapun teringat percakapannya dengan Kay beberapa waktu yang lalu.

“seperti dirimu yang aku lihat, kamu mirip dengan kedua orang tuaku, meskipun kamu menikah dengan wanita, namun aku merasa jika kamu bisa menerima kalau anakmu menjadi seorang gay” kata Kay.


*T A M A T*

Friday, July 3, 2015

Disuruh untuk menikah lagi

Pagi – pagi adalah waktu yang sangat menenangkan bagi diriku untuk duduk diteras rumah menikmati suasana alam yang indah, melihat mentari terbit, dan mendengar suara burung berkicau yang sangat menenangkan hati.
Tak beberapa lama, istri tercintaku pun datang membawa gorengan dan segelas kopi, sambil tersenyum, dia meletakkan panganan pagi diatas meja dan sekaligus ikut duduk dibangku samping meja menemani diriku.
“mas, masih ingat mbak rani?” tanya istriku.
Mbak rani, seorang janda muda yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya dua tahun lalu dalam sebuah kecelakaan maut di jalan raya, dalam pikiranku.
“Oh, mbak Rani? Ingat” kataku sambil kopi diatas meja dan mulai menyeruputnya.
“bagaimana kalau mas melamarnya sebagai istri kedua?” kata istriku tiba – tiba.
“bruuutttt” cairan kopipun menyembur dari mulutku membasahi lantai.
“mama ngomong apa sih?” kataku sambil menyeka mulut.
“mama serius ini mas, mama kasihan sama mbak rani harus menghidupi seorang  anaknya seorang diri tanpa suami”
“ah, papa mau kekantor dulu, sudah telat” kataku sambil kabur dari percakapan yang membuatku terkejut.
***
Jalanan menuju kantor macet pagi itu, sambil menunggu lampu merah, pikiranku melayang pada percakapan tadi pagi, jujur saja, menikah lagi, disuruh istri pula, siapa sih yang ngga mau, batinku.
Dan bayangan tentang rani pun melayang dalam pikiran, rani, seorang wanita yang cantik, lembut dan keibuan, beda dengan istriku yang agak keras dalam mempertahankan pendapat yang dia anggap benar.
Tentu menikahinya sangat membahagiakan bagi seorang pria, dilayani dengan lembut dan penuh keibuan, menurut apa kata suami, pergi bersama ke kantor setiap harinya bersamaan, wah sebuah pengalaman yang menyenangkan dong.
“Teeetttt!”
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan pagiku, oh, sudah lampu hijau rupanya, segera ku gas motor bututku untuk sampai ke kantor
***
“Arga, bagaimana pendapatmu soal menikah kembali, disuruh oleh istri lagi” tanyaku kepada Arga, teman sekantor.
“Menikah kembali? Apa sedang ada permasalahan dalam keluarga mu?” tanya Arga sambil keheranan.
“Ah, tidak, keluarga kami masih harmonis kok” jawabku.
“terus, alasan istrimu menyuruh menikah kembali apa?”.
“karena dia kasihan dengan temannya yang seorang janda ditinggal mati, harus membesarkan seorang anak tanpa ada yang melindunginya”
“apa kamu siap, membagi waktu antara istri pertama dengan istri kedua?” tanya Arga kembali.
“Wah, siap dong, seminggu dirumah istri pertama, seminggu lagi dirumah istri kedua” jawabku yakin.
“soal anak gimana? Apa ngga bermasalah nantinya, yang satu anak kandung, sementara yang satu lagi anak tiri”
“tentu saja aku ngga mungkin membedakan mana anak kandung dan anak tiri, semua akan aku anggap anak sendiri”
“pendapatan kamu apa sudah mencukupi untuk dua keluarga?” tanya arga kembali.
“soal finansial aku rasa tidak bermasalah, calon istriku yang satu lagi sudah bekerja, sehingga jika aku melebihkan sedikit pendapatanku untuk istriku yang sekarang, aku rasa dia ngga keberatan”
“oh, ya sudah, berarti kamu sudah siap dong dengan konsekuensi pernikahan yang kedua, lebih – lebih kita kerja di perusahaan swasta, ngga ada aturan yang terlalu mengekang” kata Arga sambil kembali ke pekerjaannya.
Setelah berdiskusi ringan bersama Arga, keinginanku untuk menyetujui keinginan istriku untuk menikah kembali semakin besar, bukankah aku tidak sekedar menikah untuk bersenang – senang seperti pikiran orang tentang mengenai poligami? Aku bertanggung jawab untuk kedua keluarga, dan tentu saja aku akan berusaha seoptimal mungkin berbuat adil diantara istri – istriku nantinya.
***
Motorku baru saja sampai dihalaman rumah, dengan keyakinan diri untuk menyetujui keinginan istriku tadi pagi, kulihat Tyo, anakku sedang bermain dengan anak tetangga.
“Tyo!” panggilku
Tyopun berlari kearahku, seorang anak yang cerdas dan menghibur diriku saat pulang kerja.
“mama mana?” tanyaku.
“Di kamar mandi, lagi mencuci baju”
“Yuk, kita lihat mama” kataku.
Kamipun melangkah ke arah kamar mandi, kulihat istriku sedang membilas pakaian kami sekeluarga, sudah sering kubilang untuk membelikan dia sebuah mesin cuci agar tidak memberatannya, namun dia menolak, tidak sanggup membayar tagihan listrik katanya.
“Mama!” kataku dan Tyo memanggil istriku.
“eh papa, sudah pulang” katanya sambil menyeka keringat didahinya, diapun menghentikan pekerjaan rumahnya, dan keluar dari kamar mandi menuju kearah diriku dan Tyo berdiri, kukecup keningnya, seperti hari – hari biasanya, ada yang sedikit berbeda antara hari ini dengan hari – hari sebelumnya, ada rasa mengganjal didalam hati...
“sini, mama bawakan ransel mas, pasti capekkan, ayo Tyo turun dong, jalan sama mama ke kamar”
Kupandangi punggung istriku yang sedang berjalan bersama Tyo bergandengan tangan ke kamar, sambil bercerita berdua, rasa yang mengganjal dalam hati tadi mulai bersuara kepada diriku.
“Bukankah sebenarnya aku memiliki keluarga yang bahagia...?”
Istriku yang berjalan ini adalah seorang istri yang sangat istimewa, dia yang telah merawat dan memanajemen rumah tanggaku sehingga seperti ini, dia telah mencurahkan semua cinta dan perhatiannya agar rumah tangga kami selalu berjalan tanpa konflik apapun.
Dia membesarkan Tyo dirumah, menjaga kepercayaanku, semua pendapatanku kuserahkan kepadanya, dan dia membaginya secara proporsional sehingga kami tidak pernah merasa kekurangan meski aku tahu, sebenarnya pendapatanku itu tidak mencukupi.
Kekerasan kepalanya lebih didasari oleh kenyataan, dia tidak ingin menambah beban yang tidak perlu dalam keluarga ini, dia menghindari pertengkaran – pertengkaran dimasa depan akibat sedikit kesusahan yang sebenarnya bisa diatasi saat ini.
Hatiku terharu melihat besarnya pengorbanan istriku, relakah aku membagi kasih sayang yang seharusnya “utuh” untuk semua yang dia lakukan untuk diriku dengan wanita lain, meski dia yang menyuruhnya?.
“Papa, kok termenung sih?” teriak Tyo dari dalam kamar kami
“eh iya, bentar, tadi lihat handphone sebentar” kataku sambil ikut mereka ke kamar.
***
Malam itu, setelah Tyo tidur di atas tempat tidur, aku mengajak istriku berbicara soal percakapan kami tadi pagi.
“Mama, masih ingat dengan Arga kan?” tanyaku
“Mas arga? Masih mas...” katanya.
“tadi pagi mas sudah berbicara dengan Arga, berhubung Arga juga seorang duda tanpa anak, maka mas berpikir untuk menjodohkan Rani dengan Arga, mana tahu mereka berdua cocok” kataku berbohong, sambil berpikir keras bagaimana untuk berbicara dengan arga esok hari soal Rani.
“Oh, begitu mas, ya sudah, nanti kalo sudah mas jelaskan soal mbak Rani kepada Mas Arga, nanti mama bilangin ke Mbak raninya” kata istriku.
=TAMAT=

Tuesday, April 1, 2014

Salju Abadi dalam Hati Chen (Catatan Empat Musim)


Aku mengenalnya sebagai seorang gadis Chinese yang cantik dan ramah, senyum hangatnya yang senantiasa dia tebarkan di antara teman – temannya menambah aura kecantikan terpancarkan dari dalam dirinya.
Namun kenyataannya, mentari yang bersinar di atas puncak himalayapun tidak mampu untuk mencairkan salju – salju abadi penutup puncaknya, tidak di masa dahulu, tidak di masa kini, bahkan mungkin untuk beberapa ratus tahun kedepan, salju itu akan tetap berada di sana.
Aku mencintainya, yah,,, sungguh aku mengagumi setiap gerak gerik tubuhnya, sikapnya, sifatnya, apapun yang dia lakukan sangat menarik untukku. Jika cintaku untuk dirinya aku ibaratkan mentari, maka hatinya adalah salju yang menetap di puncak – puncak gunung, tempat aku berusaha mencairkan kebekuan itu.
Kisah asmara ini terjadi delapan tahun lalu tepatnya, saat aku dan dia sama – sama sedang kuliah si sebuah universitas swasta di Jakarta.
***
“Brak,,,”
“Maaf” kataku dengan penyesalan saat menabrak seorang gadis berkacamata yang sedang melintas di ruangan rektorat.
“Ndak papa” katanya sambil tersenyum kecil.
Diapun berlalu meninggalkan diriku, namun tiba – tiba ada detak berbunyi di dalam jantungku saat aku melihat langkah kecilnya, kupandangi jacket kampus Psikologi yang dipakainya dari tempat aku berdiri.
Rasa penasaran yang menghuni hati membuatku ingin mengetahui siapakah dirinya, maka saat perkuliahan telah selesai, aku keluar dengan terburu – buru menuju fakultas Psikologi yang terletak dekat dengan fakultas teknik tempatku belajar.
Saat menyusuri taman kampus yang memisahkan kedua fakultas kami, aku melihat sosoknya sedang duduk di bangku kantin, sendiri sedang mengerjakan tugas perkuliahannya, akupun melangkah menghampiri tempat duduknya.
“Hai,,,” sapaku.
“Oh,,, hai juga” katanya sambil sedikit terkejut, tak lama sebuah senyuman menghiasi wajahnya.
“Sedang sendririan? Bolehkah aku duduk disini?” tanyaku sambil menarik bangku dihadapannya, tanpa menunggu ijinnya.
“Eh ya,, boleh,,”
“Aku sedang menunggu teman – teman yang sedang masuk kuliah ne, jadwalku sudah kosong sekarang” katanya lagi.
“Maaf kejadian tadi pagi, aku tidak sengaja, kenalkan, namaku Yoga” kataku memperkenalkan diri.
“Namaku Chen, lebih tepatnya Elisabeth Chen” jawabnya sambil menerima uluran tanganku.
Begitulah awal perkenalanku dengan dirinya, hampir setiap hari aku berkunjung ke kampusnya, untuk sekedar berbincang dengan dirinya, melepaskan kerinduan akan sosoknya. Namun semakin sering aku menjumpainya, semakin kuat rasa aneh yang kini hinggap di dalam dada.
“Bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan princess?” tanyaku kepada Chen suatu saat di kantin tempat kami sering berjumpa.
Dia hanya tertawa kecil menunjukkan deretan gigi putih yang rata serta lesung pipit diwajahnya yang menawan.
“Kenapa engkau memanggilku Princess?”
“Karena dirimulah putri yang menuliskan kata – kata indah dalam diari hatiku” jawabku sedikit menggombal, dan tentu saja jujur!!
Dia tertawa semakin kencang.
“Kamu itu gombal, ah,,” katanya lagi.
“Tidak, itu jujur dari hatiku”
Tiba – tiba kesunyian tercipta diantara kami, Chen sudah menganggap ucapanku dengan serius.
“Maksudmu?” katanya.
“Ehm,,, aku,,” lidahku menjadi kelu.
“Aku mencintaimu, Chen, semenjak kita pertama berjumpa, rasa ini menguasai hati dan setiap aliran darah yang mengalir dalam tubuhku”
“Maaf, Yoga, aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman, tidak lebih dan tidak kurang” katanya.
“Bisakah aku memberimu sedikit waktu untuk menjawab dan memikirkan kembali pernyataan hatiku?” kataku memohon.
“Maaf yoga, aku tidak bisa, maaf aku mau kembali lagi ke kelasku” katanya sambil berdiri meninggalkan aku yang duduk sendiri di kantin ini.
Semenjak saat itu, aku kesulitan untuk menemukan sosoknya kembali, semua telefonku tidak pernah di angkatnya, semua smsku tidak pernah di replynya, namun tidak juga membuatku lelah mengirimkan sms – sms semua perasaanku kepada dirinya, entah dia baca ataupun tidak.
Akhirnya dengan sedikit keberanian, aku mencoba mengunjungi rumahnya sendirian, tanpa teman.
“Ning Nong”
“Mencari siapa, nak,,?” Tanya seorang bapak yang membuka pintu rumahnya, mungkin orang tuanya.
“Mencari Chen, Pak, apakah dia dirumah?”
“Oh, Chen,,, Dia ada, ayo silahkan masuk dahulu”
Aku duduk di kursi tamu sambil menunggu Chen yang sedang beraktifitas di dapur.
“Yoga,,,” kata Chen dengan raut muka sedikit terkejut.
“Iya, Chen, maaf aku langsung kerumahmu tanpa sempat memberitahu sebelumnya”.
“Mmm, ayo kita duduk di teras saja, tidak enak berbicara hal pribadi di ruangan ini” ajaknya.
Kamipun pindah ke teras depan rumahnya, duduk disana sambil memandang kendaraan yang berlalu lalang di depan rumahnya.
“Chen,,, bolehkan aku berbicara?” kataku memecah kebisuan diantara kami.
“Boleh,,” katanya dengan berbisik.
“Chen, maaf aku harus mengungkapkan kembali perasaanku kepada dirimu”
“Sejujurnya, bagi diriku, untuk mencintai dan mengungkapkan perasaan kepada seorang wanita sangatlah sulit, namun karena aku akan menyesal jika aku tidak pernah mengungkapkannya kepada wanita itu, apakah dia akan menolak, membenci, menerima ataukah hanya mendengarkannya saja”.
“Aku mencintaimu, Chen, semenjak saat pertama kita bertemu”. Kataku dengan panjang lebar.
Chen termenung sejenak setelah mendengarkan ucapanku, kemudian dia berkata.
“Maafkan aku, Yoga, yang telah hadir dalam hatimu, sesungguhnya aku yakin kepada ketulusan dalam hatimu. Aku memahaminya dan sungguh tersentuh oleh pengorbananmu, namun saat ini rasa cinta kepada seorang pria tidak dapt hadir di hatiku, semenjak aku sering di sakiti oleh banyak pria, aku merasa trauma untuk tersakiti kembali, tanpa aku tahu kapan akan terobati. Cinta itu menyakitkan bukan? Saat dirimu mencintaiku, dan aku tidak dapat mencintaimu. Maafkan aku, Yoga” kata Chen dengan lembut.
Hari itu, untuk kedua kalinya hatiku hancur dan kecewa oleh seorang wanita yang sama. Princess Diary, wanita yang telah menuliskan kisah sedih dalam hatiku.




Setelah 8 tahun kami tidak berjumpa, saat aku terakhir melihatnya sedang menyebrang jalan 8 tahun lalu, aku melihatnya kembali di Mall terbesar kota ini sedang berbahagia menggendong anaknya dan ditemani suaminya di sebuah tangga escalator saat kami berpapasan menuju arah yang berbeda, namun saat aku ingin memanggilnya, lidahku menjadi kelu tidak bisa mengeluarkan suara. Dia tidak melihat aku yang sedang berdiri di sini.
“Akhirnya kamu berbahagia, Chen,,,” bisikku dengan lirih.
***
catatan Chen:
malam sudah menunjukkan pukul 10.00. chen baru saja selesai menidurkan anaknya di dalam kamar, suaminya sedang mengadakan meeting dengan rekan bisnisnya di luar rumah.
Ada rasa gelisah dalam hatinya saat teringat sebuah kejadian di tangga escalator mall siang tadi. Diam - diam dia menuju ruang baca mengeluarkan sebuah diary kusam yang berisi catatan – catatan masa lalunya.
Dear Diary,,,
Sudah lama aku tidak menyapamu, semenjak aku terakhir menulismu akhir perkuliahan dahulu.
Masih ingatkah kamu dengan sosok Yoga? Orang yang pernah 2x mengungkapkan perasaannya pada diriku dan 2x juga aku menolaknya, karena aku belum siap untuk kembali menerima kehadiran seseorang dalam hatiku.
Tiba – tiba hari ini aku merasa kehadirannya kembali saat sedang ditangga escalator Mall, Yoga,,, seorang pria yang telah mengorbankan nyawanya untuk menolongku dari hantaman truk yang menerobos lampu merah.
Dia telah memberikan aku nyawa kehidupan yang kedua, demi aku, dia mengorbankan dirinya. Semenjak kejadian itu, aku mengerti bahwa tidak semua laki – laki itu suka menyakiti hati wanita.
Sinar sang mentari itu telah berhasil mencairkan kebekuan salju yang bertahta dalam hatiku, namun sayang, dia telah tenggelam di ufuk barat.
Kini, mentari yang lain telah bersinar kembali di hatiku, dan aku berjanji kepada diriku sendiri, agar mentari itu tetap terus bersinar menyinari puncak hatiku”
Tamat…

Thursday, February 14, 2013

Doa yang tak berhijab




"Kamu pikir tempat ini punya nenek moyang mu?" Suara Bang Tagor menggelegar di pasar Dupa siang ini, membuat takut orang - orang yang sedang berada di pasar itu. Urat - urat lehernya mengembang seiring dengan kemarahannya.

"maaf bang, saya Cuma orang baru dipasar ini" jawab Aminah dengan lugu.

"Maaf - maaf, eh, harusnya kamu tahu, kalau mau jualan di sini harus bayar uang keamanan"

"tapi saya baru mulai jualan, bang. Belum laku dagangan saya"

"Banyak alasan"

"Brak!!!"

Bang Tagor menendang kue - jue dagangan Aminah, kemudian dia pergi dari hadapan Aminah, kue - kue tersebut berserakan di jalanan, tidak bisa dijual kembali.

Dengan sedih dipungutnya kue - kue yang tercecer dijalanan, memasukkannya kedalam keranjang, dan kembali pulang kerumahnya, di ikuti tatapan kasihan dari orang - orang yang berkumpul melihat kejadian tadi.

***

"Assalamualaikum" salam Indah yang baru pulang dari sekolahnya.

"Waalaikumsalam" jawab Aminah sambil tersenyum melihat putrinya.

"Ibu cepat sekali pulangnya?" Tanya Indah.

"Iya, tadi kue ibu di tendang sama preman pasar, jadi tidak bisa dijual"

"lho, kok bisa, bu?"

"yah, namanya juga preman, nak. Dia minta uang keamanan, dan ibu baru saja jualan, tidak ada uang untuk di setor ke preman itu"

"Indah benci sama preman itu!!!" teriak Indah dengan penuh amarah.

" sudahlah, ikhlaskan saja" jawab ibunya sambil tersenyum.

Rintik - rintik hujan mulai turun diatas rumah kontrakan kecil Aminah, matanya memandang ke luar rumah, melihat tetesan - tetesan air yang membasahi bumi setelah teriknya matahari yang memanggang siang tadi.

Ingatannya mulai kembali saat dia baru saja kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan ditempat kerja, betapa sulit saat dia ingin memulangkan jenasah suaminya dari sebuah rumah sakit yang menuntut Aminah untuk membayar sejumlah uang pengganti pengobatan suaminya, terpaksa satu persatu perhiasan yang telah dikumpulkannya digadaikan agar jenasah suami tercintanya bisa segera dimakamkan, bahkan saudara - saudar iparnya tidak ada yang berniat untuk menolong kesulitan yang tengah keluarga Aminah hadapi.

Kesulitannya tidak berhenti sampai di situ, setelah pemakaman suaminya, keluarga suaminya kembali datang untuk menagih hutang, hutang - hutang yang dia yakin tidak pernah dilakukan mendiang suaminya, mereka ingin menyita harta satu - satunya peninggalan dari pernikahannya, sepetak rumah tempat dia berdiam bersama mendiang suami dan seorang putri tunggalnya.

Aminah berusaha sekuat tenaga mempertahankan peninggalan satu - satunya mendiang suaminya, namun dengan kelicikan, Aminah terpaksa harus keluar dari rumah itu, terlunta - lunta mencari rumah tempat ia dan putri kecilnya tinggal. Semua pekerjaan dia lakukan agar dia dan anaknya tidak kelaparan, dan yang terpenting baginya dia bisa menyekolahkan putrinya.

"Ibu sedang mikirin apa?" Tanya Indah

"Oh, tidak mikirin apa - apa, Indah" jawab aminah sambil tersenyum.

"Yuk, bantu ibu ke belakang, kita buat kue untuk di jual lagi besok" ajak Aminah sambil bangkit menuju dapur.

***

Indah terbangun tengah malam, saat lantunan suara Ibunya berdoa setelah Qiyamul lail, dipan tempat Indah tidur memang berada disamping ibunya mendirikan Qiyamul lail, doa - doa yang dibacakan oleh Ibunya membuatnya terharu, betapa besar cinta Ibunya kepada dirinya.

"Indah sudah bangun?" Tanya Aminah kepada putrinya saat selesai berdoa.

"Iya, bu..." jawab Indah

"terus kenapa menangis?"

"Indah mendengar doa - doa yang ibu panjatkan tadi, Ibu sangat memperhatikan Indah, namun,,,"

"Namun, kenapa?" Tanya Aminah dengan lembut.

"Kenapa Ibu tidak mendoakan saja agar Preman pasar dan keluarga Ayah agar cepat mati, bu? Mereka sudah berkali - kali menyakiti kita. Bukankah tidak ada penghalang dari doa yang kita panjatkan dengan Allah untuk orang - orang yang dizalimi seperti kita..."

"Oh, begitu" jawab Aminah dengan tersenyum.

"justru Ibu merasa saat kita dizalimi oleh orang lain, dan doa - doa ibu tidak terhijabkan, Ibu merasa jauh lebih baik mendoakan putri Ibu menjadi anak yang sholihah dan sukses dunia akhirat, untuk apa kita menyimpan dendam dalam hati? Bukankah memaafkan jauh lebih baik, toh apa yang mereka dapatkan adalah harta yang haram, yang tumbuh menjadi darah dan daging mereka. Balasan untuk mereka sudah ada, namun mungkin bukan di dunia mereka terima" jelas aminah.

"hayo, sebentar lagi mau masuk waktu subuh, ayo Indah Qiyamul lail dulu" kata Ibunya sambil mengecup kening putrinya.

***

Saturday, February 9, 2013

“Masih cinta mantan pacar”




Wanita mana sih yang tidak cemburu, saat suaminya jatuh cinta pada wanita lain, terlebih wanita yang hadir dalam pernikahan itu adalah mantan kekasih sang suami yang terjadi sebelum pernikahan terjadi.
***
Suara gelak tawa memenuhi rumah Ito, berasal dari arisan teman – teman wanita kampus Rasya saat dia masih kuliah dulu, sebuah acara tahunan yang selalu mereka laksanakan sekaligus sebagai acara reuni.

Mendadak suara tertawa dirumah itu menghilang, berganti cerita serius tentang perselingkuhan yang marak terjadi akhir – akhir ini, Rasya mulai merasa tidak nyaman mendengar beberapa cerita tentang skandal gelap yang diceritakan oleh temannya.

“Bayangin saja, aku sampai menyewa seseorang detektif swasta untuk mengikuti kemana saja suamiku pergi, suatu saat, sang detektif sewaan menelepon ku dan berkata bahwa suamiku sedang berada dalam sebuah hotel tertentu di kota ini pada saat jam kantor” cerita Tuti, teman Rasya, dengan bersemangat.

“terus,,, terus,,,” kata Inen dengan penuh semangat mendengarkan.

“Akupun pergi ke hotel tersebut, dan setelah bertanya dengan sang detektif, kami mendobrak masuk kamar hotel itu berdasarkan informasi dari sang detektif, tentu saja tanpa sepengetahuan pihak hotel dan suamiku” kata Tuti, diapun meneguk minumannya sebelum melanjutkan ceritanya kembali.

Rasya bersama teman – temannya bersabar menunggu kelanjutan cerita Tuti.

“Rupanya kami salah kamar, karena kamar yang kami dobrak itu hanya ada seorang bapak – bapak dengan istrinya sedang tidur”.

“Oooo…….” Suara Rasya dan teman – temannya menanggapi cerita Tuti.

“Rupanya suamiku berada di ruangan meeting, sedang mengadakan pertemuan dengan rekan bisnisnya, malam itupun dia marah besar kepada diriku” tutup Tuti.

“ceritaku pun berbeda” tiba – tiba Amoy bersuara.

“Aku merasa melihat suamiku dengan selingkuhannya sedang berduaan di dalam bioskop, aku sedang menonton juga di bioskop itu, sendiri tentunya”.

“Dari sudut atas aku melihat mereka sedang bercumbu ria dan tentu saja sebagai seorang istri aku naik pitam karena melihat suamiku bersama wanita lain” kata Amoy.

“Saat itu aku yakin sekali yang ku lihat adalah suamiku, pakaian yang dia pakai, potongan rambut dari belakang, amat mirip dengan suamiku, padahal sebelum pergi ke kantor dia mengatakan akan pergi keluar kota”

“Saat pemutaran film berakhir, bergegas aku mengejar mereka yang menuju pintu keluar, aku mencegat mereka, dan langsung aku tampar lelaki itu, dan ternyata,,, aku salah orang, rupanya penampilan dari belakang dan penampilan dari depan sangat berbeda, dia bukan suamiku, maka langsung saja aku melarikan diri dari mereka” kata Amoy sambil menyengir malu.

Suara tawa kembali memenuhi rumah Ito, acara pun berlangsung semarak sampai sore harinya.

***

Sampai dirumah, Rasya merasakan kegelisahan yang timbul karena kisah perselingkuhan yang diceritakan oleh teman – temannya, hatinya mulai merasa sedikit curiga kepada suaminya, tentang apa yang suaminya lakukan saat ini, dia mulai merasa terlalu mempercayai suaminya, bahkan dompet dan tas kerja suaminya pun tidak pernah dia sentuh.

Wajahnya masih sedikit cemberut saat menyambut kepulangan suaminya saat tiba dirumah, tidak seperti biasanya, dia yang selalu berwajah tersenyum ceria saat berdiri didepan pintu.

“mama kenapa? Lagi sakit ya?” Tanya Pandu, suaminya sambil mengecup kening Rasya.

“Enggak, mama Cuma ingin bertanya saja tentang kegiatan harian papa”

“Hari ini yang papa lakukan hanya mengurus pekerjaan di kantor saja, kenapa?” jawab Pandu.

“Benaran, ga ada yang lainnya?” Tanya Rasya.

“Ah, mama terlalu curiga” kata Pandu.

Sejenak rasa hening tercipta diantara mereka.

“Entah kenapa papa kangen dengan mantan pacar papa”

“Papa selalu membawa fotonya dalam dompet, kalau papa kangen pasti papa pandang wajah di fotonya yang meneduhkan” kata Pandu dengan serius.

Butir – butir air mata mengalir di pipi Rasya mendengar pengakuan suaminya.

“ternyata papa masih mencintai mantan pacar papa” kata Rasya dengan lirih, ingin rasanya dia berlari dari rumah itu.

Suaminya mendekat dan duduk di hadapannya
.
“ya, sampai sekarang papa masih mencintainya, papa ingin pengertian mama akan hal ini”

Rasya membuang mukanya ddari wajah suaminya dan berusaha melepaskan genggaman tangan Pandu.

“Mama, ini mantan pacar papa dahulu yang selalu hadir dalam hati papa” kata Pandu sambil menunjukkan selembar foto kepada Rasya, sesosok wajah Rasya sebelum dia menikah dengan suaminya.

“Cantikkan? Sampai sekarang wanita ini tetap cantik seperti pertama kali papa jatuh hati kepadanya” kata Pandu dengan lembut.

“Papa jahill!!!” teriak Rasya sambil mencubit pinggang suaminya dengan gemas

“Aww!!!”

Total Pageviews

Followers

Archive

 

© 10-5-2014 Empuss miaww. All rights resevered. Designed by Diubah karena banyak script anehnya

Back To Top